Minggu, 07 Juni 2015

Perkembangan Aplikasi Solar cell : Prinsip, Material, Proses Fabrikasi dan Modifikasinya

Rizky Arief Shobirin1,2,*

1Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
2Pusat Studi Peradaban,
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Indonesia, 65100

*E-mail : rizky_ariefs@yahoo.com



Pendahuluan

            Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan mulai tumbuh dalam memperbaiki lingkungan yang justru saat ini semakin rusak yang mayoritas karena penggunaan non-renewable energy serta aktivitas eksploitasinya [1]. Sehingga, saat ini muncul berbagai penelitian tentang sumber energi terbarukan (renewable energy resources) untuk mengurangi penggunaan bahan bakar dan non-renewable energy lainnya serta mengatasi kerusakan lingkungan. Dalam pengembangan penelitian dan aplikasinya saat ini salah satunya adalah solar cell. Solar cell mengkonversi sinar matahari langsung menjadi energi listrik, tanpa menghasilkan polusi dan kebisingan, serta tidak memerlukan bahan bakar lainnya [2]. Manfaat dari penggunaan solar cell sangat potensial, yang mana secara penghitungan matematis dapat mengurangi jumlah penggunaan sumber energi tidak terbarukan lainnya secara signifikan dan menghemat biaya pengeluaran. Namun, saat ini aplikasi dari photovoltaic ini hanya mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala kecil dari produksi energi global secara keseluruhan, dan saat diaplikasikan pada industri, angka pemenuhan kebutuhan energi masih belum mencukupi, dengan kata lain belum dapat diimplementasikan [3]. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya metode penyimpanan energi listrik dan biaya yang tinggi dari masing-masing komponen dalam sistem solar cell. Meskipun demikian, bukan berarti solar cell tidak propekif dalam aplikasi sebagai new generation of renewable-energy resources, karena solar cell secara prinsip kerja dan teorinya dapat dikembangkan menjadi low-cost consumable energy resources (sumber energi konsumsif biaya rendah), mengurangi pencemaran lingkungan yang saat ini sebagian besar berasal dari emisi CO2 dari bahan bakar konvensional, serta menjawab kebutuhan energi skala global di masa depan [4-6].


Prinsip Kerja Solar cell

Konversi Energi Surya pada Solar cell

            Secara mendasar, sumber energi solar cell adalah foton yang berasal dari sinar matahari. Foto yang masuk ke dalam solar cell didistribusikan, dengan cara yang bergantung pada beberapa variabel seperti lintang, waktu, dan kondisi atmosfer, panjang gelombang yang berbeda. Hasil pengolahan dari energi cahaya yang masuk ke dalam solar cell merupakan energi listrik yang dapat digunakan dalam bentuk arus dan tegangan [7].


Perkembangan Material dan Teknologi pada Komponen Thin Film Solar cell

            Thin film merupakan komponen krusial dalam solar cell, karena thin film berperan sebagai konduktor foton masuk dan diteruskan pada p-layer, n-layer hingga substrat untuk menghasilkan energi listrik dan digunakan sebagai sumber energi. Pada perkembangan penggunaan material serta teknologi modifikasinya dibagi menjadi 3 kelas, yang pertama yaitu kelas berbasis silicon, kelas kedua yaitu berbasis chalcogenide, serta kelas ketiga yaitu berbasis organo-metal (organologam) dan polimer [3].


Thin Film berbasis Silicon

            Silikon amorforus sudah banyak digunakan sebagai komponen dasar dalam suatu perangkat digital seperti kalkulator dan jam tangan. Silikon amorforus single-junction terdeposisi pada suhu rendah sehingga 10% hidrogen menjadi terlepas dan sel individu tersebut terdeposisi menjadi lapisan gelas sebagai konduktor pada hubungan p-i-n junction layer, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1. Namun, pada perkembangan risetnya menunjukkan silikon amorforus tidak memiliki tingkat konduktifitas yang tinggi, dilakukan modifikasi dengan penambahan layer konduktif transparan berbasis timah oksida diantara silikon dan lapisan gelas tadi [3].

Gambar 1. (a) Solar cell dengan silikon amorforus single-junction, dan (b) sel individu tersebut terdeposisi menjadi lapisan gelas yang menghubungkan antar layer sebagai konduktor [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).

Beberapa pengembangan dalam upaya untuk menangani penurunan kualitas material solar cell yang sering disebabkan oleh lamanya solar cell bekerja di bawah sinar matahari, salah satunya yaitu dengan modifikasi susunan komponen solar cell yang sebelumnya single-junction menjadi multiple-junction. Beberapa pengembangannya yaitu variasi penggunaan silikon pada i-layer dari setiap p-i-n junction yang telah disusun, yang mana bandgap dari bagian sel yang bawah lebih kecil dibandingkan bagian atas, maka akan meningkatkan performa solar cell secara signifikan, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Beberapa penggunaan logam tambahan lainnya dalam komposisi i-layer bersama silikon digunakan untuk meningkatkan performa solar cell, salah satunya adalah Germanium. Germanium memberikan peningkatan performa 6-7% dari penerapan pada multiple-junction i-layer dari komponen solar cell. Modifikasi lainnya pada material dalam pengembangan performa solar cell juga dengan kombinasi silikon dengan dua struktur yang berbeda antara lain struktur amorf dan mikrokristalin, serta struktur polikristalin, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3a.  Hasil analisa performa solar cell dengan modifikasi kombinasi amorf dan mikrokristalin dari silikon pada multiple-junction dari komponen solar cell menunjukkan ada peningkatan performa kinerja yang lebih signifikan yaitu 8-10%, dikarenakan bandgap dari multiple-junction layers tersebut lebih rendah dari modifikasi komponen solar cell sebelumnya [3].


Gambar 2. Multiple-junction pada solar cells yang mana dua atau lebih sel penghubung disusun diatas komponen lainnya [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).

Pengembangan terakhir pada komponen thin film berbasis silikon yaitu konversi silikon dengan struktur amorf menjadi silikon dengan struktur polikristalin dengan proses pemanasan suhu tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3b, dengan penyusunan komponen material pada solar cell ditunjukkan pada gambar 4. Silikon polikristalin transparan tersebut atau sering disebut CSG (Crystalline Silicon on Glass) dengan keteraturan strukturnya yang tinggi memberikan peningkatan performa kinerja solar cell lebih tinggi, yaitu 9-10%. Keteraturan struktur tersebut memberikan kestabilan kinerja layer berbasis silikon dengan konduktifitas yang lebih tinggi. Saat ini, modifikasi tersebut paling banyak digunakan dalam proses fabrikasi solar cell secara komersil [3].


Gambar 3. (a) Kombinasi material mikrokristalin/amorf, dan (b) fase-tunggal plikristalin film [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).

Gambar 4. Struktur unit sel Crystalline silicon on glass (CSG) [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).


Thin Film berbasis Chalcogenide

            Thin film yang pertama kali dibuat dalam aplikasi photovoltaics sebagai solar cell yaitu berbasis Cadmium Sulfida (CdS). Thin films ini dikomersilkan pada pertengahan periode tahun 1970-an dan awal 1980-an, namun dihentikan produksinya karena dari sisi kinerja komponen tersebut masih dibawah solar cell dengan komponen thin film berbasis silikon dengan struktur amorf [3].
            Pengembangan thin films berbasis chalcogenide selanjutnya adalah cadmium tellurida (CdTe), dengan skema tersaji pada gambar 5. Pada proses pembuatannya dimulai dengan pembuatan layer CdS dari proses deposisi larutan CdS ke lembaran kaca yang dilapisi dengan lapisan timah oksida konduktif transparan. Proses tersebut diikuti dengan sublimasi, transport uap, penyemprota kimia (chemical spraying), atau electroplating.
Gambar 5. Skema perangkat sel cadmium tellurida [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).


Thin films berbasis Cu-indium diselenida (CIS) merupakan perkembangan terkini dengan efisiensi konversi energi yang tinggi dari solar cell yaitu 19,5%. CIS dibuat dengan melibatkan proses deposisi pada gelas substrat (gambar 7) dan disusun hingga tercipta interkoneksi dari masing-masing layer yang dijelaskan pada gambar 1b. Kaca pentup tambahan kemudian dilaminasi pada kombinasi sel/ substrat. Thin films jenis ini sulit untuk dikomersilkan, karena sumber logam Cd yang tersedia hanya sedikit, selain itu juga rawan pencemaran lingkungan pada limbah proses fabrikasi solar cell ini. Oleh karena itu, perkembangannya saat ini yaitu penggantian logam Cd dengan logam lain sebagaimana isu terkait yang telah dijelaskan sebelumnya [3].
Gambar 6. Struktur sel berbasis CIS (Cu-indium diselenida) cell structure


Thin Film berbasis Organologam

            Dalam perkembangan solar cell dalam beberapa tahun terakhir, thin films berbasis senyawa organik merupakan komponen yang paling dikembangkan saat ini. Semua pertimbangan telah ditelusuri, baik dari aspek ekonomis, konversi, serta aplikasi. Tantangan utama dari solar cell dengan thin film berbasis senyawa organik yaitu meningkatkan konversi energi foton menjadi energi listrik, serta efisiensi kinerja dari solar cell sebagai sumber energi terbaru yang dapat digunakan dan dilakukan fabrikasi secara komersil [3], [8].


Gambar 7. Skema diagram dari p-n junction solar cell konvensional (kiri), dan heterojunction solar cell organik [8], dikutip dengan ijin Springer, Inc. (copyright 2006).













Gambar 8. Skema diagram struktur bandgap dari heterojunction solar cell organik dengan adanya donor dan aseptor elektron (atas), dan diagram susunan struktur layer dari heterojunction solar cell organik (bawah) [8], dikutip dan dimodifikasi dengan ijin Springer, Inc. (copyright 2006).


Beberapa dasar kinerja dari solar cell berbasis bahan organik, dimulai dengan konstruksi perangkat (device) yang telah digambarkan, serta perbedaan antara bilayer hetero-junction dan bulk heterojunction. Yang menjadi menarik untuk dilihat adalah adanya perbedaan kinerja dengan susunan komponen-komponen organik solar cell dibandingkan dengan berbasis senyawa anorganik lainnya, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 7.
            Dalam perangkat solar cell organik, penataan komponennya cukup sederhana, yang mana tersedia hanya satu photoactive material dan elektroda berupa anoda dan katoda yang ditempatkan pada posisi atas dan bawah, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8. Thin films berbasis senyawa organik merupakan komponen yang berperan secara signifikan dalam perangkat solar cell organik, karena berperan sebagai distributor electron dari katoda menuju katoda hingga dihasilkan arus listrik karena ada perbedaan bandgap dari senyawa organik tersebut, meskipun saat ini efisiensi performa kinerja solar cell tesebut masih rendah, yaitu berada pada kisaran 3-5% [3], [8]. Perbedaan bandgap tersebut juga mengurangi frekuensi kerja logam secara keseluruhan dari solar cell sebagaimana yang sering ditemui pada solar cell konvensional, dikarenakan senyawa organik (umumnya senyawa dengan mayoritas berikatan rangkap) pada thin films tersebut mengalami resonansi dengan membentuk ikatan kimia baru dan melepas ikatan sebelumya pada senyawa organik tersebut. Proses resonansi tersebut tentunya mengurangi hambatan jenis suatu material yang sering kali menyebabkan ketidak stabilan kinerja dari solar cell itu sendiri, yang sering ditemui pada perangkat solar cell konvensional yang mana thin films tersebut berbasis senyawa anorganik seperti silikon dan chalcogenida. Sehingga prospek riset kedepannya yaitu eksplorasi senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan thin film dengan thermal stability yang tinggi, efisiensi konversi energi yang tinggi, serta low-cost fabrication dan instalasi perangkat solar cell organik itu sendiri [9].



Aplikasi dan Perkembangan Solar cell berbasis Polimer sebagai Konduktor

            Solar cell berbasis polimer (PSC/ Polymer Solar cell) saat ini menjadi perhatian khusus karena keuntungan mereka dalam persaingan teknologi pengembangan solar cell. Kemajuan saat ini dalam efisiensi konversi-daya (PCE/ power-conversion efficiency) dari PSC telah mencapai rekor baru yaitu 10,6% berdasarkan perancangan tandem, menunjukkan masa depan yang menjanjikan dari PSC sebagai photovoltaic (PV) yang murah dan efisien photovoltaic sebagai kandidat pemanenan energi surya (solar energy harvesting) dan diolah menjadi energi listrik. Selain melakukan riset untuk meningkatkan efisiensi menjadi lebih tinggi, saat ini PSC juga dikembangkan dengan beberapa kemampuan dan karakter tersendiri untuk beberapa aplikasi yang berbeda.
Aplikasi solar cell dengan mengonversi energi foton menjadi energi listrik saat ini banyak digunakan sebagai pembangkit listrik, sebagai contoh di Indonesia disebut sebagai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Aplikasi ini sebagai pembangkit listrik sedang dikembangkan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi konversi energi, meningkatkan module lifetimes (jangka waktu penggunaan modul solar cell), mengurangi biaya pembuatan dan instalasi solar cell, serta mengurangi dampak lingkungan dari proses fabrikasi solar cell [7].


Solar cell dengan Polimer Transparan

            Banyak upaya telah dilakukan untuk membuat PSC menjadi material dengan sifat fisik tampak transparan atau semitransparan. Konduktor transparan, seperti film lapis tipis berbasis logam, metal grids, jaringan nanowire logam, oksida logam, polimer konduktor, dan grafen, telah ditempatkan pada lapisan photoactive sebagai elektroda atas agar diperoleh PSC terlihat transparan atau semitransparan. Namun, pengembangan ini sering mengakibatkan tingkat transparansi cahaya tampak yang rendah dan efisiensi perangkat yang rendah, oleh karena itu jenis pengembangan material PSC dengan konduktor transparan ini kurang disarankan dalam pengembangan desain dan fabrikasi perangkat [10].
            Dalam upaya untuk menutupi kekurangan tersebut, perlu dilakukan modifikasi dari polimer pada solar cell untuk memperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Chen, et. al. mendemonstrasikan suatu gagasan untuk mengatasi tantangan tersebut untuk PSC tampak transparan. PSC kinerja tinggi dengan tampak fisik yang transparan diperoleh dengan menggabungkan bahan polimer PV sensitif terhadap sinar NIR (near-infrared) namun sangat transparan untuk cahaya tampak, bersamaan dengan komposit konduktor transparan yang berbasis AgNW (silver nanowire) dengan kinerja tinggi. Untuk polimer aktif NIR yang digunakan yaitu poly[2,60-4,8-bis (5-ethylhexylthienyl) benzo [1,2-b;3,4-b] dithiophene-alt-5-dibutyloctyl-3,6-bis (5-bromothiophen-2-yl) pyrrolo [3,4-c]-pyrrole-1,4-dione] (PBDTT-DPP). Kedua transparansi cahaya tampak dan PCE (power-conversion efficiency) ditangani secara simultan. Sehingga, solar cell dengan tampak fisik sangat transparan ditunjukkan dengan PCE dari 4% dan transmisi maksimum ~66% pada 550 nm [10].


Gambar 9. (A) skema penataan device dengan polimer tampak transparan pada solar cell, (B) struktur PBDTT-DPP dengan spektrum IR-nya dan dibandingkan dengan photoactive layer hasil proses spin-coating membentuk PBDTT-DPP:PCBM bulk heterojunction [10], dikutip dari American Chemical Society (copyright 2012).


Gambar 10. Gambar hasil scanning dengan SEM pada bagian (A) atas dan (B) bawah dari permukaan elektroda komposit transparan berbasis AgNW, dengan (C) spectrum IR-nya, serta (D) tampak fisik transparan dari polimer solar cell dengan hasil karakterisasi voltage pada parameter (E) densitas arus dari device transparan dan control device  [10], dikutip dari American Chemical Society (copyright 2012).


Fabrikasi perangkat tersebut dibagi menjadi dua, yaitu pada bagian polimer transparan dan pengontrol perangkat (control device). Polimer transparan tersebut difabrikasi pada substrat ITO-terlapis kaca, sheet resistance 15 Ω/sq. Kemudian PEDOT:PSS layer dilakukan proses spinning pada kecepatan anguler 4.000 rpm selama 60 detik dikokohkan dengan pemanasan pada suhu 120oC selama 15 menit di udara. Untuk PBDTT-DPP:PCBM dicampur dengan rasio berat 1:2 dalam larutan diklorobenzena (0,7  wt %) yang kemudian dilakukan proses spinning pada kecepatan putaran anguler 2.500 rpm selama 80 detik diatas PEDOT:PSS layer untuk membentuk active layer dengan ketebalan sekitar 100 nm. Larutan sol-gel TiO2 kemudian di-spin-coated pada active layer pada kecepatan putaran anguler 2.500 rpm selama 30 detik dan dikokohkan dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 1 menit untuk membentuk n-type interface layer. Pada proses deposisi elektroda komposit berbasis AgNW, Ag nanowire didispersikan dalam larutan isopropil alkohol dan di-spin-coated (dispersi 2 mg/ mL, 2500 rpm, 10 tetes) atau dilakukan spray-coating (dispersi 0.05 mg/ mL) pada TiO2 layer  untuk membentuk jaringan konduktor AgNW. Proses penggabungan dari jaringan Ag nanowire dilakukan dengan proses dilusi larutan sol-gel TiO2 dalam etanol pada kecepatan anguler 3.000 rpm dan dipanaskan pada suhu 100oC selama 10 detik. Dispersi nanopartikel ITO (10 wt %) digunakan sebagai material pengisi konduktif transparan dan di-spin-coated pada gabungan matriks AgNW untuk membentuk elektroda komposit. Selanjutnya, dilakukan pemanasan secara perlahan pada suhu 80oC selama 1 menit untuk menghilangkan residu pelarut tersebut. Ketebalan elektroda tersebut diatur pada kisaran 400 nm. Device electrode fingers dibuat melalui proses pemotongan film dengan pisau dan dilakukan penghembusan gas N2 untuk menghindari kemungkinan terbentuknya sirkuit pendek antara bagian atas AgNW dan bagian bawah substrat ITO. Area aktifnya 10 mm2, yang ditunjukkan adanya overlap antara bagian bawah subtract ITO dengan bagian atas electrode finger. Sedangkan fabrikasi control device dengan elektroda Al reflektif terevaporasi dilakukan dengan proses evapoasi termal pada Al 100 nm sebagai katoda dibawah kondisi vakum dengan tekanan 2.10-6 Torr pasca proses deposisi dari komponen photoactive polymer layer. Secara keseluruhan, skema penataan device dengan polimer tampak transparan pada solar cell, struktur PBDTT-DPP dengan spektrum IR-nya dan dibandingkan dengan photoactive layer yang telah dibuat, disajikan pada gambar 9 [10].
            Pada gambar 10(D) terlihat polimer yang dihasilkan transparan, yang ketika diaplikasikan pada device akan terlihat hingga komponen bagian bawahnya. Dalam pengujian efisiensi konversi-daya melalui uji densitas arus, begaimana yang ditunjukkan pada gambar 10(E), diperoleh PCE sebesar 4.02% pada pembacaan nilai Voc = 0.77 V, Jsc = 9.3 mA. cm-2 dan FF = 56.2%. Melalui hasil pengukuran ini, memang masih diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk meningkatkan nilai PCE, karena angka PCE yang diperoleh masih selisih jauh dibandingkan dengan menggunakan kristalin silikon, yang mana diperoleh hingga pada kisaran 19%. Namun, pengembangan ini masih tetap prospektif karena polimer masih tetap terlihat transparan sehingga secara komersil cukup prospektif dan bisa memiliki daya jual yang tinggi.


Modifikasi Polimer Transparan Solar cell untuk meningkatkan Efisiensi Konversi Energi

            Upaya peningkatan nilai PCE pada solar cell dengan polimer transparan dilakukan dan dikaji oleh Chen, et.al. [12], karena solar cell merupakan salah satu perangkat yang sangat prospektif pemanen energi surya (solar energy harvesting) dengan biaya yang rendah, dengan properties dari material tersebut yaitu fleksibel, ringan, mudah dimodifikasi dengan tampilan yang menarik, serta area tangkap sinar matahari yang luas. Secara prinsip kerja dari solar cell, strategi dalam melakukan peningkatan nilai efisiensy konversi energi antara lain (i) menurunkan bandgap polimer yang digunakan sehingga dapat menangkap sinar matahari lebih banyak, yang selanjutnya dihantarkan pada short-circuit current (Jsc) dengan densitas lebih tinggi, dan (ii) menurunkan HOMO (highest occupied molecular orbital) dari polimer tersebut, yang dapat meningkatkan beda potensial open-circuit (Voc) [11].
            Solar cell berbasis polimer ini dengan dengan metode yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, namun menggunakan polimer yang berbeda yaitu PBDTTT (polymer of benzo[1,2-b:4,5-b’]dithiophene and thieno[3,4-b]thiophene) dengan 3 variasi rantai samping alkil antara lain n-oktana (sebagai PBDTTT-E), etil-pentana (sebagai PBDTTT-C), dan n-heptana (sebagai PBDTTT-CF), sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11(a). Variasi tersebut memiliki bandgap dan absorbsivitas yang berbeda, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11(b) dan (c) dengan data yang tertera pada tabel 1 [11].













Gambar 11. Perbandingan 3 variasi polimer berbeda yang berbasis PBDTTT, (a) struktur molekul, (b) tingkat energi, serta (c) spectrum absorbs UV-Vis [11], dikutip dengan ijin Macmillan, Inc. (copyright 2009).




Penambahan rantai samping pada polimer berbasis PBDTTT secara keseluruhan tidak menunjukkan adanya perbedaan signifikan pada nilai absorpsivitas, namun apabila dibandingkan antara PBDTTT-E dengan PBDTTT-CF memiliki perbedaan cukup banyak pada analisa tingkat energi. Hal tersebut menjelaskan semakin pendek side chain pada polimer tersebut mengakibatkan penurunan tingkat energi dan bandgap antara HOMO dan LUMO lebih rendah. Data tersebut diperkuat oleh analisa Current Density vs Voltage yang dilakukan oleh peneliti yang dimotori oleh Chen, et.al. dengan pembanding analisa yang dilakukan oleh NREL (National Renewable Energy Laboratory), yang mana menunjukkan adanya peningkatan singnifikan pada nilai Voc  kisaran 0,76 V yang ditemukan pada varian polimer PBDTTT-CF. Dengan penggabungan angka Jsc dan FF (fill factor) diperoleh data PCE sebesar 7,38 ± 0,4%. Nilai PCE tersebut merupakan nilai rata-rata setelah dilakukan pengukuran pada 75 perangkat polimer solar cell dengan nilai tertinggi analisa yaitu 7,73% [11].


Referensi

[1] Jaakko Härkönen, Processing of High Efficiency Silicon Solar cells, Dissertation, 2001, Helsinki University of Technology Reports in Electron Physics.

[2] Peter Wűrfel, Physics of Solar cells : from Principles to New Concepts, Chapter 1, 2005, Wiley-VCH, pp : 1-8.

[3] Martin A. Green, Thin-film Solar cells: Review of Materials, Technologies and Commercial Status, J. Mater. Sci. : Mater. Electron, 2007, 18, pp : S15–S19.

[4] Daisuke Kanama, Hiroshi Kawamoto, Research and Development Trends of Solar cell for Highly Effciency, Sci. Tech. Trends, 2008, 28 : Chapter 4, pp : 57-74.

[5] Richard W. Asplund, Profiting from Clean Energy : A Complete Guide to Trading Green in Solar, Wind, Ethanol, Fuel Cell, Power Efficiency, Carbon Credit Industries, and More, Chapter 2, 2008, John Wiley & Sons, Inc., pp : 27-30.

[6] Richard W. Asplund, Profiting from Clean Energy : A Complete Guide to Trading Green in Solar, Wind, Ethanol, Fuel Cell, Power Efficiency, Carbon Credit Industries, and More, Chapter 5, 2008, John Wiley & Sons, Inc., pp : 27-30.

[7] Stephen J. Fonash, Solar cell Device Physics, 2nd Ed., Chapter 1, 2010, Elsevier, Inc., pp : 1-8.

[8] Travis L. Benanti, D. Venkataraman, Organic Solar cells: an Overview Focusing on Active Layer Morphology, Photosynthesis Research, 2006, 87, pp : 73-81.

[9] Corneliu Cincu, Aurel Diacon, “Hybrid Solar cells : Materials and Technology”, Advanced Solar cell Materials, Technology, Modeling, and Simulation : Chapter 6, 2013, Engineering Science Reference, IGI Global, pp : 79-100.

[10] Chun-Chao Chen, Letian Dou, Rui Zhu, Choong-Heui Chung, Tze-Bin Song, Yue Bing Zheng, Steve Hawks, Gang Li, Paul S. Weiss, and Yang Yang, “Visibly Transparent Polymer Solar cells Produced by Solution Processing”, ACS Nano, 2012, 6 (8), pp : 7185-7190.

[11] Hsiang-Yu Chen, Jianhui Hou, Shaoqing Zhang, Yongye Liang, Guanwen Yang, Yang Yang, Luping Yu, Yue Wu, and Gang Li, “Polymer Solar Cells with Enhanced Open-circuit Voltage and Efficiency”, Nature Photonics, 2009, 3, pp : 649-653.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar