Rizky
Arief Shobirin1,2,*
1Jurusan Kimia, Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
2Pusat Studi Peradaban,
Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Indonesia,
65100
*E-mail : rizky_ariefs@yahoo.com
Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan mulai
tumbuh dalam memperbaiki lingkungan yang justru saat ini semakin rusak yang
mayoritas karena penggunaan non-renewable
energy serta aktivitas eksploitasinya [1]. Sehingga, saat ini muncul
berbagai penelitian tentang sumber energi terbarukan (renewable energy resources) untuk mengurangi penggunaan bahan bakar
dan non-renewable energy lainnya
serta mengatasi kerusakan lingkungan. Dalam pengembangan penelitian dan
aplikasinya saat ini salah satunya adalah solar
cell. Solar cell mengkonversi
sinar matahari langsung menjadi energi listrik, tanpa menghasilkan polusi dan kebisingan,
serta tidak memerlukan bahan bakar lainnya [2]. Manfaat dari penggunaan solar cell sangat potensial, yang mana
secara penghitungan matematis dapat mengurangi jumlah penggunaan sumber energi
tidak terbarukan lainnya secara signifikan dan menghemat biaya pengeluaran. Namun,
saat ini aplikasi dari photovoltaic ini
hanya mampu memenuhi kebutuhan energi dalam skala kecil dari produksi energi
global secara keseluruhan, dan saat diaplikasikan pada industri, angka
pemenuhan kebutuhan energi masih belum mencukupi, dengan kata lain belum dapat
diimplementasikan [3]. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya metode penyimpanan
energi listrik dan biaya yang tinggi dari masing-masing komponen dalam sistem solar cell. Meskipun demikian, bukan
berarti solar cell tidak propekif
dalam aplikasi sebagai new generation of
renewable-energy resources, karena solar
cell secara prinsip kerja dan teorinya dapat dikembangkan menjadi low-cost consumable energy resources
(sumber energi konsumsif biaya rendah), mengurangi pencemaran lingkungan yang
saat ini sebagian besar berasal dari emisi CO2 dari bahan bakar
konvensional, serta menjawab kebutuhan energi skala global di masa depan [4-6].
Prinsip Kerja Solar
cell
Konversi Energi Surya pada Solar cell
Secara mendasar, sumber energi solar cell adalah foton yang berasal
dari sinar matahari. Foto yang masuk ke dalam solar cell didistribusikan, dengan cara yang bergantung pada beberapa
variabel seperti lintang, waktu, dan kondisi atmosfer, panjang gelombang yang
berbeda. Hasil pengolahan dari energi cahaya yang masuk ke dalam solar cell merupakan energi listrik yang
dapat digunakan dalam bentuk arus dan tegangan [7].
Perkembangan Material
dan Teknologi pada Komponen Thin Film
Solar cell
Thin film merupakan komponen krusial
dalam solar cell, karena thin film berperan sebagai konduktor
foton masuk dan diteruskan pada p-layer,
n-layer hingga substrat untuk
menghasilkan energi listrik dan digunakan sebagai sumber energi. Pada
perkembangan penggunaan material serta teknologi modifikasinya dibagi menjadi 3
kelas, yang pertama yaitu kelas berbasis silicon, kelas kedua yaitu berbasis chalcogenide,
serta kelas ketiga yaitu berbasis organo-metal
(organologam) dan polimer [3].
Thin Film
berbasis Silicon
Silikon
amorforus sudah banyak digunakan sebagai komponen dasar dalam suatu perangkat
digital seperti kalkulator dan jam tangan. Silikon amorforus single-junction terdeposisi pada suhu
rendah sehingga 10% hidrogen menjadi terlepas dan sel individu tersebut
terdeposisi menjadi lapisan gelas sebagai konduktor pada hubungan p-i-n junction layer, sebagaimana ditunjukkan
pada gambar 1. Namun, pada perkembangan risetnya menunjukkan silikon amorforus
tidak memiliki tingkat konduktifitas yang tinggi, dilakukan modifikasi dengan
penambahan layer konduktif transparan
berbasis timah oksida diantara silikon dan lapisan gelas tadi [3].
Gambar 1. (a) Solar cell dengan
silikon amorforus single-junction,
dan (b) sel individu tersebut
terdeposisi menjadi lapisan gelas yang menghubungkan antar layer sebagai konduktor [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright
2007).
Beberapa pengembangan dalam
upaya untuk menangani penurunan kualitas material solar cell yang sering disebabkan oleh lamanya solar cell bekerja di bawah sinar matahari, salah satunya yaitu
dengan modifikasi susunan komponen solar
cell yang sebelumnya single-junction
menjadi multiple-junction. Beberapa
pengembangannya yaitu variasi penggunaan silikon pada i-layer dari setiap p-i-n junction
yang telah disusun, yang mana bandgap
dari bagian sel yang bawah lebih kecil dibandingkan bagian atas, maka akan
meningkatkan performa solar cell secara
signifikan, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2. Beberapa penggunaan logam
tambahan lainnya dalam komposisi i-layer
bersama silikon digunakan untuk meningkatkan performa solar cell, salah satunya adalah Germanium. Germanium memberikan
peningkatan performa 6-7% dari penerapan pada multiple-junction i-layer
dari komponen solar cell. Modifikasi
lainnya pada material dalam pengembangan performa solar cell juga dengan kombinasi silikon dengan dua struktur yang
berbeda antara lain struktur amorf dan mikrokristalin, serta struktur
polikristalin, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 3a. Hasil analisa performa solar cell dengan modifikasi kombinasi amorf dan mikrokristalin
dari silikon pada multiple-junction
dari komponen solar cell menunjukkan
ada peningkatan performa kinerja yang lebih signifikan yaitu 8-10%, dikarenakan
bandgap dari multiple-junction layers tersebut lebih rendah dari modifikasi
komponen solar cell sebelumnya [3].
Gambar 2. Multiple-junction pada solar
cells yang mana dua atau lebih sel penghubung disusun diatas komponen
lainnya [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).
Pengembangan terakhir pada
komponen thin film berbasis silikon
yaitu konversi silikon dengan struktur amorf menjadi silikon dengan struktur
polikristalin dengan proses pemanasan suhu tinggi, sebagaimana ditunjukkan pada
gambar 3b, dengan penyusunan komponen material pada solar cell ditunjukkan pada gambar 4. Silikon polikristalin
transparan tersebut atau sering disebut CSG (Crystalline Silicon on Glass) dengan keteraturan strukturnya yang
tinggi memberikan peningkatan performa kinerja solar cell lebih tinggi, yaitu 9-10%. Keteraturan struktur tersebut
memberikan kestabilan kinerja layer
berbasis silikon dengan konduktifitas yang lebih tinggi. Saat ini, modifikasi
tersebut paling banyak digunakan dalam proses fabrikasi solar cell secara komersil [3].
Gambar 3. (a) Kombinasi material mikrokristalin/amorf, dan (b) fase-tunggal plikristalin film [3], dikutip dari Springer, Inc.
(copyright 2007).
Gambar 4. Struktur unit sel Crystalline silicon on glass (CSG) [3], dikutip dari Springer, Inc.
(copyright 2007).
Thin Film
berbasis Chalcogenide
Thin film yang pertama kali dibuat dalam
aplikasi photovoltaics sebagai solar cell yaitu berbasis Cadmium
Sulfida (CdS). Thin films ini
dikomersilkan pada pertengahan periode tahun 1970-an dan awal 1980-an, namun
dihentikan produksinya karena dari sisi kinerja komponen tersebut masih dibawah
solar cell dengan komponen thin film berbasis silikon dengan
struktur amorf [3].
Pengembangan
thin films berbasis chalcogenide selanjutnya adalah cadmium tellurida
(CdTe), dengan skema tersaji pada gambar 5. Pada proses pembuatannya dimulai
dengan pembuatan layer CdS dari proses
deposisi larutan CdS ke lembaran kaca yang dilapisi dengan lapisan timah oksida
konduktif transparan. Proses tersebut diikuti dengan sublimasi, transport uap,
penyemprota kimia (chemical spraying),
atau electroplating.
Gambar 5. Skema perangkat sel cadmium
tellurida [3], dikutip dari Springer, Inc. (copyright 2007).
Thin films berbasis Cu-indium
diselenida (CIS) merupakan perkembangan terkini dengan efisiensi konversi
energi yang tinggi dari solar cell yaitu
19,5%. CIS dibuat dengan melibatkan proses deposisi pada gelas substrat (gambar
7) dan disusun hingga tercipta interkoneksi dari masing-masing layer yang dijelaskan pada gambar 1b.
Kaca pentup tambahan kemudian dilaminasi pada kombinasi sel/ substrat. Thin films jenis ini sulit untuk dikomersilkan,
karena sumber logam Cd yang tersedia hanya sedikit, selain itu juga rawan
pencemaran lingkungan pada limbah proses fabrikasi solar cell ini. Oleh karena itu, perkembangannya saat ini yaitu
penggantian logam Cd dengan logam lain sebagaimana isu terkait yang telah
dijelaskan sebelumnya [3].
Gambar 6. Struktur sel berbasis CIS
(Cu-indium diselenida) cell structure
Thin Film
berbasis Organologam
Dalam
perkembangan solar cell dalam
beberapa tahun terakhir, thin films berbasis
senyawa organik merupakan komponen yang paling dikembangkan saat ini. Semua
pertimbangan telah ditelusuri, baik dari aspek ekonomis, konversi, serta
aplikasi. Tantangan utama dari solar cell
dengan thin film berbasis senyawa
organik yaitu meningkatkan konversi energi foton menjadi energi listrik, serta
efisiensi kinerja dari solar cell
sebagai sumber energi terbaru yang dapat digunakan dan dilakukan fabrikasi
secara komersil [3], [8].
Gambar 7. Skema diagram dari p-n junction solar cell konvensional (kiri), dan heterojunction solar cell organik [8], dikutip dengan ijin Springer,
Inc. (copyright 2006).
Gambar 8. Skema diagram struktur bandgap dari heterojunction solar cell
organik dengan adanya donor dan aseptor elektron (atas), dan diagram susunan
struktur layer dari heterojunction solar cell organik (bawah) [8], dikutip dan dimodifikasi dengan ijin Springer, Inc. (copyright
2006).
Beberapa dasar kinerja dari solar cell berbasis bahan organik, dimulai dengan konstruksi
perangkat (device) yang telah
digambarkan, serta perbedaan antara bilayer
hetero-junction dan bulk heterojunction.
Yang menjadi menarik untuk dilihat adalah adanya perbedaan kinerja dengan
susunan komponen-komponen organik solar
cell dibandingkan dengan berbasis senyawa anorganik lainnya, sebagaimana
ditunjukkan pada gambar 7.
Dalam
perangkat solar cell organik, penataan
komponennya cukup sederhana, yang mana tersedia hanya satu photoactive material dan
elektroda berupa anoda dan katoda yang ditempatkan pada posisi atas dan bawah,
sebagaimana ditunjukkan pada gambar 8. Thin
films berbasis senyawa organik merupakan komponen yang berperan secara
signifikan dalam perangkat solar cell
organik, karena berperan sebagai distributor electron dari katoda menuju katoda
hingga dihasilkan arus listrik karena ada perbedaan bandgap dari senyawa organik tersebut, meskipun saat ini efisiensi
performa kinerja solar cell tesebut
masih rendah, yaitu berada pada kisaran 3-5% [3], [8]. Perbedaan bandgap tersebut juga mengurangi
frekuensi kerja logam secara keseluruhan dari solar cell sebagaimana yang sering ditemui pada solar cell konvensional, dikarenakan
senyawa organik (umumnya senyawa dengan mayoritas berikatan rangkap) pada thin films tersebut mengalami resonansi
dengan membentuk ikatan kimia baru dan melepas ikatan sebelumya pada senyawa
organik tersebut. Proses resonansi tersebut tentunya mengurangi hambatan jenis
suatu material yang sering kali menyebabkan ketidak stabilan kinerja dari solar cell itu sendiri, yang sering
ditemui pada perangkat solar cell konvensional
yang mana thin films tersebut
berbasis senyawa anorganik seperti silikon dan chalcogenida. Sehingga prospek
riset kedepannya yaitu eksplorasi senyawa organik yang dapat digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan thin film dengan
thermal stability yang tinggi,
efisiensi konversi energi yang tinggi, serta low-cost fabrication dan
instalasi perangkat solar cell organik
itu sendiri [9].
Aplikasi dan Perkembangan
Solar cell berbasis Polimer sebagai
Konduktor
Solar cell berbasis polimer (PSC/
Polymer Solar cell) saat ini menjadi
perhatian khusus karena keuntungan mereka dalam persaingan teknologi
pengembangan solar cell. Kemajuan
saat ini dalam efisiensi konversi-daya (PCE/ power-conversion efficiency) dari
PSC telah mencapai rekor baru yaitu 10,6% berdasarkan perancangan tandem,
menunjukkan masa depan yang menjanjikan dari PSC sebagai photovoltaic (PV) yang
murah dan efisien photovoltaic sebagai kandidat pemanenan energi surya (solar
energy harvesting) dan diolah menjadi energi listrik. Selain melakukan riset
untuk meningkatkan efisiensi menjadi lebih tinggi, saat ini PSC juga
dikembangkan dengan beberapa kemampuan dan karakter tersendiri untuk beberapa
aplikasi yang berbeda.
Aplikasi solar
cell dengan mengonversi energi foton menjadi energi listrik saat ini banyak
digunakan sebagai pembangkit listrik, sebagai contoh di Indonesia disebut
sebagai PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya). Aplikasi ini sebagai pembangkit
listrik sedang dikembangkan dalam upaya untuk meningkatkan efisiensi konversi
energi, meningkatkan module lifetimes
(jangka waktu penggunaan modul solar cell),
mengurangi biaya pembuatan dan instalasi solar
cell, serta mengurangi dampak lingkungan dari proses fabrikasi solar cell [7].
Solar cell
dengan Polimer Transparan
Banyak
upaya telah dilakukan untuk membuat PSC menjadi material dengan sifat fisik
tampak transparan atau semitransparan. Konduktor transparan, seperti film lapis
tipis berbasis logam, metal grids, jaringan nanowire logam, oksida logam,
polimer konduktor, dan grafen, telah ditempatkan pada lapisan photoactive
sebagai elektroda atas agar diperoleh PSC terlihat transparan atau
semitransparan. Namun, pengembangan ini sering mengakibatkan tingkat
transparansi cahaya tampak yang rendah dan efisiensi perangkat yang rendah,
oleh karena itu jenis pengembangan material PSC dengan konduktor transparan ini
kurang disarankan dalam pengembangan desain dan fabrikasi perangkat [10].
Dalam
upaya untuk menutupi kekurangan tersebut, perlu dilakukan modifikasi dari
polimer pada solar cell untuk
memperoleh efisiensi yang lebih tinggi. Chen, et. al. mendemonstrasikan suatu gagasan untuk mengatasi tantangan
tersebut untuk PSC tampak transparan. PSC kinerja tinggi dengan tampak fisik
yang transparan diperoleh dengan menggabungkan bahan polimer PV sensitif
terhadap sinar NIR (near-infrared) namun sangat transparan untuk cahaya tampak,
bersamaan dengan komposit konduktor transparan yang berbasis AgNW (silver nanowire) dengan kinerja tinggi. Untuk
polimer aktif NIR yang digunakan yaitu poly[2,60-4,8-bis (5-ethylhexylthienyl) benzo
[1,2-b;3,4-b] dithiophene-alt-5-dibutyloctyl-3,6-bis (5-bromothiophen-2-yl) pyrrolo
[3,4-c]-pyrrole-1,4-dione] (PBDTT-DPP). Kedua transparansi cahaya tampak dan
PCE (power-conversion efficiency) ditangani secara simultan. Sehingga, solar cell dengan tampak fisik sangat
transparan ditunjukkan dengan PCE dari 4% dan transmisi maksimum ~66% pada 550
nm [10].
Gambar 9. (A) skema penataan device dengan polimer tampak transparan
pada solar cell, (B) struktur
PBDTT-DPP dengan spektrum IR-nya dan dibandingkan dengan photoactive layer hasil proses spin-coating
membentuk PBDTT-DPP:PCBM bulk
heterojunction [10], dikutip dari American Chemical Society (copyright
2012).
Gambar 10. Gambar hasil scanning dengan SEM pada bagian (A) atas dan (B) bawah dari permukaan elektroda komposit transparan berbasis
AgNW, dengan (C) spectrum IR-nya,
serta (D) tampak fisik transparan
dari polimer solar cell dengan hasil
karakterisasi voltage pada parameter (E) densitas arus dari device transparan dan control device [10], dikutip dari American Chemical Society
(copyright 2012).
Fabrikasi perangkat tersebut dibagi menjadi dua,
yaitu pada bagian polimer transparan dan pengontrol perangkat (control device). Polimer transparan
tersebut difabrikasi pada substrat ITO-terlapis kaca, sheet resistance 15 Ω/sq. Kemudian PEDOT:PSS layer dilakukan proses spinning
pada kecepatan anguler 4.000 rpm selama 60 detik dikokohkan dengan
pemanasan pada suhu 120oC selama 15 menit di udara. Untuk PBDTT-DPP:PCBM
dicampur dengan rasio berat 1:2 dalam larutan diklorobenzena (0,7 wt %) yang kemudian dilakukan proses spinning pada kecepatan putaran anguler
2.500 rpm selama 80 detik diatas PEDOT:PSS layer
untuk membentuk active layer dengan
ketebalan sekitar 100 nm. Larutan sol-gel TiO2 kemudian di-spin-coated pada active layer pada kecepatan putaran anguler 2.500 rpm selama 30
detik dan dikokohkan dengan pemanasan pada suhu 100oC selama 1 menit
untuk membentuk n-type interface layer.
Pada proses deposisi elektroda komposit berbasis AgNW, Ag nanowire didispersikan dalam larutan isopropil alkohol dan di-spin-coated (dispersi 2 mg/ mL, 2500
rpm, 10 tetes) atau dilakukan spray-coating
(dispersi 0.05 mg/ mL) pada TiO2 layer
untuk membentuk jaringan konduktor
AgNW. Proses penggabungan dari jaringan Ag nanowire
dilakukan dengan proses dilusi larutan sol-gel TiO2 dalam etanol
pada kecepatan anguler 3.000 rpm dan dipanaskan pada suhu 100oC
selama 10 detik. Dispersi nanopartikel ITO (10 wt %) digunakan sebagai material
pengisi konduktif transparan dan di-spin-coated
pada gabungan matriks AgNW untuk membentuk elektroda komposit. Selanjutnya,
dilakukan pemanasan secara perlahan pada suhu 80oC selama 1 menit
untuk menghilangkan residu pelarut tersebut. Ketebalan elektroda tersebut
diatur pada kisaran 400 nm. Device
electrode fingers dibuat melalui proses pemotongan film dengan pisau dan
dilakukan penghembusan gas N2 untuk menghindari kemungkinan
terbentuknya sirkuit pendek antara bagian atas AgNW dan bagian bawah substrat
ITO. Area aktifnya 10 mm2, yang ditunjukkan adanya overlap antara bagian bawah subtract ITO
dengan bagian atas electrode finger.
Sedangkan fabrikasi control device
dengan elektroda Al reflektif terevaporasi dilakukan dengan proses evapoasi
termal pada Al 100 nm sebagai katoda dibawah kondisi vakum dengan tekanan 2.10-6
Torr pasca proses deposisi dari komponen
photoactive polymer layer. Secara keseluruhan, skema penataan device dengan polimer tampak transparan
pada solar cell, struktur PBDTT-DPP
dengan spektrum IR-nya dan dibandingkan dengan photoactive layer yang telah dibuat, disajikan pada gambar 9 [10].
Pada
gambar 10(D) terlihat polimer yang dihasilkan transparan, yang ketika
diaplikasikan pada device akan
terlihat hingga komponen bagian bawahnya. Dalam pengujian efisiensi
konversi-daya melalui uji densitas arus, begaimana yang ditunjukkan pada gambar
10(E), diperoleh PCE sebesar 4.02% pada pembacaan nilai Voc = 0.77
V, Jsc = 9.3 mA. cm-2 dan FF = 56.2%. Melalui hasil
pengukuran ini, memang masih diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk
meningkatkan nilai PCE, karena angka PCE yang diperoleh masih selisih jauh
dibandingkan dengan menggunakan kristalin silikon, yang mana diperoleh hingga
pada kisaran 19%. Namun, pengembangan ini masih tetap prospektif karena polimer
masih tetap terlihat transparan sehingga secara komersil cukup prospektif dan
bisa memiliki daya jual yang tinggi.
Modifikasi Polimer
Transparan Solar cell untuk meningkatkan Efisiensi Konversi Energi
Upaya
peningkatan nilai PCE pada solar cell
dengan polimer transparan dilakukan dan dikaji oleh Chen, et.al. [12], karena solar
cell merupakan salah satu perangkat yang sangat prospektif pemanen energi
surya (solar energy harvesting)
dengan biaya yang rendah, dengan properties
dari material tersebut yaitu fleksibel, ringan, mudah dimodifikasi dengan
tampilan yang menarik, serta area tangkap sinar matahari yang luas. Secara
prinsip kerja dari solar cell,
strategi dalam melakukan peningkatan nilai efisiensy konversi energi antara lain
(i) menurunkan bandgap polimer yang
digunakan sehingga dapat menangkap sinar matahari lebih banyak, yang
selanjutnya dihantarkan pada short-circuit current (Jsc) dengan densitas lebih tinggi, dan (ii) menurunkan
HOMO (highest occupied molecular orbital)
dari polimer tersebut, yang dapat meningkatkan beda potensial open-circuit (Voc) [11].
Solar cell berbasis polimer ini dengan
dengan metode yang sama seperti yang dijelaskan sebelumnya, namun menggunakan
polimer yang berbeda yaitu PBDTTT (polymer of benzo[1,2-b:4,5-b’]dithiophene
and thieno[3,4-b]thiophene) dengan 3 variasi rantai samping alkil antara lain
n-oktana (sebagai PBDTTT-E), etil-pentana (sebagai PBDTTT-C), dan n-heptana
(sebagai PBDTTT-CF), sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11(a). Variasi
tersebut memiliki bandgap dan
absorbsivitas yang berbeda, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 11(b) dan (c)
dengan data yang tertera pada tabel 1 [11].
Gambar 11. Perbandingan 3 variasi polimer berbeda yang berbasis PBDTTT, (a) struktur molekul, (b) tingkat energi, serta (c) spectrum absorbs UV-Vis [11],
dikutip dengan ijin Macmillan, Inc. (copyright
2009).
Penambahan rantai samping
pada polimer berbasis PBDTTT secara keseluruhan tidak menunjukkan adanya
perbedaan signifikan pada nilai absorpsivitas, namun apabila dibandingkan
antara PBDTTT-E dengan PBDTTT-CF memiliki perbedaan cukup banyak pada analisa
tingkat energi. Hal tersebut menjelaskan semakin pendek side chain pada polimer tersebut mengakibatkan penurunan tingkat
energi dan bandgap antara HOMO dan
LUMO lebih rendah. Data tersebut diperkuat oleh analisa Current Density vs Voltage yang dilakukan oleh peneliti yang
dimotori oleh Chen, et.al. dengan
pembanding analisa yang dilakukan oleh NREL (National Renewable Energy Laboratory), yang mana menunjukkan adanya peningkatan singnifikan
pada nilai Voc kisaran 0,76 V yang ditemukan pada varian
polimer PBDTTT-CF. Dengan penggabungan angka Jsc dan FF (fill factor) diperoleh data PCE sebesar
7,38 ± 0,4%. Nilai PCE tersebut merupakan nilai rata-rata setelah dilakukan
pengukuran pada 75 perangkat polimer solar
cell dengan nilai tertinggi analisa yaitu 7,73% [11].
Referensi
[1] Jaakko Härkönen, “Processing of High Efficiency Silicon Solar cells”, Dissertation, 2001, Helsinki
University of Technology Reports in Electron Physics.
[2] Peter Wűrfel, “Physics of Solar cells : from Principles to New Concepts”, Chapter 1, 2005, Wiley-VCH, pp :
1-8.
[3] Martin A. Green, “Thin-film Solar cells: Review of Materials, Technologies and Commercial Status”,
J. Mater. Sci. : Mater. Electron, 2007, 18, pp : S15–S19.
[4] Daisuke Kanama, Hiroshi
Kawamoto, “Research and Development
Trends of Solar cell for Highly
Effciency”, Sci. Tech. Trends, 2008, 28 : Chapter 4, pp :
57-74.
[5] Richard W. Asplund, “Profiting from Clean Energy : A Complete
Guide to Trading Green in Solar, Wind, Ethanol, Fuel Cell, Power Efficiency,
Carbon Credit Industries, and More”, Chapter
2, 2008, John Wiley & Sons, Inc., pp : 27-30.
[6] Richard W. Asplund, “Profiting from Clean Energy : A Complete
Guide to Trading Green in Solar, Wind, Ethanol, Fuel Cell, Power Efficiency,
Carbon Credit Industries, and More”, Chapter
5, 2008, John Wiley & Sons, Inc., pp : 27-30.
[7] Stephen J. Fonash, “Solar
cell Device Physics, 2nd Ed.”, Chapter 1, 2010, Elsevier, Inc., pp : 1-8.
[8] Travis L. Benanti, D.
Venkataraman, “Organic Solar cells: an Overview Focusing on
Active Layer Morphology”, Photosynthesis
Research, 2006, 87, pp : 73-81.
[9] Corneliu Cincu, Aurel
Diacon, “Hybrid Solar cells : Materials and Technology”, Advanced Solar cell Materials, Technology, Modeling, and Simulation : Chapter
6, 2013, Engineering Science Reference, IGI Global, pp : 79-100.
[10] Chun-Chao Chen, Letian Dou,
Rui Zhu, Choong-Heui Chung, Tze-Bin Song, Yue Bing Zheng, Steve Hawks, Gang Li,
Paul S. Weiss, and Yang Yang, “Visibly
Transparent Polymer Solar cells
Produced by Solution Processing”, ACS
Nano, 2012, 6 (8), pp : 7185-7190.
[11] Hsiang-Yu Chen, Jianhui
Hou, Shaoqing Zhang, Yongye Liang, Guanwen Yang, Yang Yang, Luping Yu, Yue Wu, and
Gang Li, “Polymer Solar Cells with Enhanced
Open-circuit Voltage and Efficiency”, Nature
Photonics, 2009, 3, pp : 649-653.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar