Jumat, 12 Juni 2015

Efek Protektif Propolis Dalam Mencegah Stres Oksidatif Akibat Aktivitas Fisik Berat (Swimming Stress)
Oleh : M. Asadullah
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya
Aktifitas fisik berat dilakukan dengan tujuan diantaranya untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan, dan martabat hidup manusia. Contoh aktifitas fisik berat misalnya olahraga anaerobik seperti renang dan lari jarak pendek. Pada keadaan tertentu, aktifitas fisik berat dapat memberikan pengaruh negatif yaitu menghambat atau mengganggu proses fisiologis di dalam tubuh (Chevion et al. 2003). Salah satu faktor yang mengakibatkan dampak negatif adalah terjadinya peningkatan pembentukan oksidan. Oksidan mempunyai peran yang penting pada patogenesis dan perjalanan berbagai penyakit misalnya stroke dan jantung koroner (Ramzi et al. 2004).
Aktivitas fisik berat berperan terhadap terjadinya penyakit-penyakit tersebut melalui peningkatan oksidan endogen. Oksidan endogen sebagian besar justru berasal dari proses biologis alami yang melibatkan reactive oxygen species (ROS). Radikal bebas adalah molekul yang mempunyai atom dengan elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi. Reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makromolekul seluler termasuk karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat (Langseth, 1995).
ROS merupakan senyawa-senyawa reaktif yang berasal dari oksigen, senyawa yang diperlukan oleh semua organisme aerobik termasuk manusia (Suryohudoyo 2005). Jumlah ROS dapat meningkat pada kondisi stres fisik, yang dapat disebabkan oleh aktivitas fisik berat (Hairrudin 2005).
Kelebihan produksi radikal bebas atau oksigen yang reaktif (ROS, reactive oxygen species) dapat merusak jaringan. Pada kondisi ini, oksidan dapat menyerang berbagai komponen tubuh dengan segala akibatnya. Sebagai contoh misalnya serangan oksidan terhadap asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting penyusun membran sel. Serangan tersebut dapat menimbulkan reaksi rantai yang dikenal dengan peroksidasi lipid. Proses tersebut mengakibatkan terputusnya asam lemak menjadi berbagai senyawa yang toksik terhadap sel, seperti malondialdehid (MDA) dan 9-hidroksi nonenal. MDA yang dihasilkan kemudian dilepaskan ke darah, sehingga kadar MDA di darah (serum) dapat dijadikan sebagai petanda tidak langsung adanya peningkatan ROS (Harjanto 2004). Kenyataan ini menunjukkan bahwa aktifitas fisik berat dapat menimbulakn efek samping yang berbahaya bagi kesehatan, melalui peningkatan oksidan, jika sistem pertahanan antioksidan tubuh tidak mampu menetralisirnya, akan menimbulkan suatu keadaan yang disebut stres oksidatif. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa aktifitas fisik berat berupa swimming stres dapat menyebabkan stres oksidatif (Hairrudin 2005). Stres oksidatif diyakini sebagai salah satu faktor yang penting pada timbulnya berbagai macam penyakit, pada kondisi seperti ini dibutuhkan tambahan antioksidan dari luar (Suryohudoyo 2005).
Salah satu bahan yang mempunyai kandungan antioksidan tinggi adalah propolis. Propolis terdiri dari beberapa senyawa alami kompleks, yang sebagian besar mempunyai potensi sebagai antioksidan kuat, antara lain: terpenoid, flavonoid, dan ester asam fenolat. Propolis juga diketahui mempunyai kandungan fenol yang tinggi. Fenol adalah suatu senyawa yang memiliki gugus hidroksil (OH-) yang mempunyai efek sebagai antioksidan karena mampu mengikat dan menetralisir radikal bebas. Fenol merupakan antioksidan yang lebih potensial dibanding vitamin C, E, dan beta-caroten (Halliwell & Gutteridge 1999). Kandungan antioksidan dari propolis diduga dapat mencegah terjadinya stres oksidatif, sehingga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya beberapa penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah propolis dapat mencegah stres oksidatif akibat aktivitas fisik berat.
Di dalam berbagai jenis olahraga baik olahraga dengan gerakan-gerakan yang bersifat konstan seperti jogging, marathon dan bersepeda atau juga pada olahraga yang melibatkan gerakangerakan yang explosif seperti menendang bola atau gerakan smash dalam olahraga tenis atau bulutangkis, jaringan otot hanya akan memperoleh energi dari pemecahan molekul adenosinetriphospate atau yang biasa disingkat sebagai ATP.
Melaui simpanan energi yang terdapat di dalam tubuh yaitu simpanan phosphocreatine (PCr), karbohidrat, lemak dan protein, molekul ATP ini akan dihasilkan melalui metabolisme energi yang akan melibatkan beberapa reaksi kimia yang kompleks. Pengunaan simpanan-simpanan energi tersebut beserta jalur metabolisme energi yang akan digunakan untuk menghasilkan molekul ATP ini juga akan bergantung terhadap jenis aktivitas serta intensitas yang dilakukan.
Peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat selama aktivitas fisik berat. Sebagian dari oksigen yang dikonsumsi akan dirubah menjadi ROS, sehingga peningkatan konsumsi oksigen akan mengakibatkan produksi ROS meningkat (Harjanto 2004).
Kebutuhan energi yang meningkat tajam selama aktivitas fisik berat, memacu metabolisme penyediaan energi dalam tubuh. Salah satu alur metabolisme yang penting di sini adalah rantai respirsi. Rantai repirasi tejadi di dalam mitokondria dengan tujuan utama memproduksi energi. Produksi energi tersebut terjadi dengan cara memanfaatkan ekuivalen pereduksi NADH dan FADH2 yang dihasilkan melalui glikolisis, oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan siklus Krebs. Ekuivalen pereduksi tersebut dialirkan melalui seri katalisator dengan gugus terminalnya adalah enzim sitokrom oksidase. Pada gugus terminal inilah oksigen dibutuhkan untuk menangkap ekuivalen pereduksi yang dialirkan (oksigen mengalami reduksi). Reduksi tetravalen dari oksigen akan menghasilkan air. Pada kondisi normal, sekitar 3-5% reduksi tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan reduksi tetravalen inilah yang menghasilkan ROS. Makin banyak energi yang diproduksi melalui rantai respirasi, makin banyak pula ROS yang terbentuk (Halliwell & Gutteridge 1999, Murray et al. 2003).
Semua proses biologis pada manusia hakekatnya merupakan suatu keseimbangan yang bersifat dinamis. Kita mengenal keseimbangan antara berbagai sistem dalam tubuh seseorang, antara lain sistim asam dan basa, saraf simpatis dan para-simpatis, endokrin dengan mekanisme umpan baliknya. Akhir-akhir ini semakin sering dibicarakan suatu sistim keseimbangan baru yang 40 tahun lalu masih sama sekali belum dikenal, yaitu keseimbangan dinamis antara oksidan dan antioksidan (Danusantoso, 2003).
Sebagaimana halnya dengan proses biologis umumnya selalu terbuka kemungkinan untuk timbulnya efek samping yang tidak dikehendaki. Demikian pula halnya dengan metabolisme aerob yang setiap saat terjadi dalam tubuh manusia. Dalam hal ini oksigen dari udara luar melalui proses bernapas dihirup masuk kedalam paru untuk  kemudian terserap kedalam darah kapiler dan akhirnya dialirkan ke seluruh tubuh. Oksigen ini dipakai dalam metabolisme semua sel tubuh. Tetapi sayang sekali akan timbul efek samping yaitu dihasilkan apa yang dikenal sebagai radikal bebas (free radicals atau FR) dan spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species atau ROS), disamping itu berbagai aktivitas biologis lain juga menghasilkan FR maupun ROS, misalnya fagositosis.
FR adalah suatu atom atau moleklul yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan dalam strukturnya (digambarkan dengan simbol titik dibelakang rumus kimianya). Sebaliknya, kebanyakan biomolekul memiliki elektron yang berpasangan. Oleh karena itu FR adalah sangat reaktif, karena pada dasarnya elektron yang tidak berpasangan akan berupaya keras untuk dapat menemukan elektron lain untuk dapat berpasangan, baik dengan menghibahkan elektron yang tak berpasangan tersebut (proses oksidasi), maupun menerima elektron dari sumber lain (proses reduksi). Mudah terjadinya reaksi kimia berantai ini adalah ciri khas dari reaktivitas yang begitu tinggi dari FR.
Berbagai proses biologis juga menjadi sumber terbentuknya ROS, namun sumber utama dalam keadaan fisiologis ialah transportasi elektron di mitokondria, yaitu saat terjadinya metabolisme energi secara aerob (sintesa adenosine triphosphate/ ATP melalui siklus Krebs dari glukosa dan melalui oksidasi asam lemak). Proses ini terjadi dalam empat tahap yang akan mengubah oksigen yang dihirup menjadi air; pada masing-masing tahap ROS yang terbentuk pada orang sehat terkontrol dengan rapi dan tidak akan dilepaskan dari ikatan dengan induk molekulnya yang mengandung Fe atau Cu, dengan lain perkataan, keseimbangan dinamis pada orang sehat tetap terjaga dengan baik.
Contoh lain dari proses biologis penghasil ROS ialah fagositosis bakteri maupun virus dengan oxygen burst atau respiratory burst (yaitu peningkatan mendadak kebutuhan oksigen dengan dosis tinggi). Belakangan ini baru diketahui bahwa pada penderita dengan penyakit granulomatosis kronis didapatkan kadar anion superoksid atau O2 yang rendah. Hal ini disebabkan adanya suatu defek genetik yang menghambat produksinya melalui enzim nicotinamide adenine dinucleotide phosphatase hydrogen (NADPH) oxydase yang terdapat pada dinding sel, akibatnya terjadilah gangguan pemusnahan beberapa jenis bakteri tertentu. Demikian pula dengan gugus radikal NO yang dapat menghasilkan efek bakterisid yang kuat. Bila karena suatu dan lain sebab produksi radikal ini terhambat, maka penderitanya akan dengan mudah terkena penyakit infeksi.
Beberapa proses biologis lain melalui enzimenzim tertentu juga akan menghasilkan ROS, misalnya perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dan prostasiklin, proses oksigenasi hemoglobin (Hb). Masih banyak proses biologis lain yang akhir-akhir ini diketahui juga mengakibatkan terbentuknya ROS.
Kehidupan aerob begitu sarat dengan pembentukan ROS yang sama sekali tidak dapat dihindarkan, bahkan sebaliknya berbagai ROS memang dibutuhkan oleh tubuh demi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian adalah sangat vital bagi tubuh untuk memelihara keseimbangan fisiologis proses reduksi-oksidasi dari tingkat seluler sampai secara keseluruhan organ-organ seluruh tubuh. Hanya dengan homeostasis yang baik dapat dicapai kesehatan optimal.
Dalam keadaan patologis keseimbangan dinamis akan mengalami gangguan. Biasanya dalam keadaan ini akan dijumpai peningkatan ROS dalam jumlah yang luar biasa banyaknya yang dapat berasal dari sumber eksogen maupun dari sumber endogen. Dari manapun asalnya, peningkatan ROS akan mengakibatkan kerusakan dari sel-sel tertentu sampai ke jaringan-jaringan terkait setempat atau di organ yang jauh dari tempat diproduksinya. Hal ini dimungkinkan karena ROS akan dengan mudah terangkut dengan aliran darah keseluruh tubuh. Begitu juga sebaliknya, setiap proses yang mengakibatkan terjadinya produksi ROS secara berkelebihan, baik itu fisiologis maupun patologis, dibagian tubuh yang manapun juga, dapat dengan mudah memperparah penyakit paru yang sudah ada yang disebabkan oleh stres oksidatif.
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksireaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam tubuh. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa antioksidan  mengurangi risiko terhadap penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Amrun et al. 2007).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya Antioksidan ialah senyawa yang dengan mudah akan memberi elektron. Dengan demikian maka suatu oksidan (antara lain ROS) akan lebih dahulu bereaksi dengan Antioksidan dibandingkan dengan sel jaringan tubuh, sehingga dengan demikian sel tubuh tersebut tetap selamat dan utuh. Dengan lain perkataan, Antioksidan ialah suatu zat yang dapat meredam efek destruktif ROS.
Dari pengukuran kadar MDA serum yang dilakukan, didapatkan data seperti pada Tabel 1. Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata kadar MDA serum pada kelompok kontrol (K) = 42,38 nmol/ml, sedangkan pada kelompok yang diberi perlakuan (P1) = 89,63 nmol/l. Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa rata-rata kadar MDA serum kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa swimming stress yang diberikan pada kelompok P1, menyebabkan stres oksidatif yang ditandai dengan peningkatan kadar MDA serum secara bermakna (p=0,00).
Fakta tersebut menunjukkan bahwa aktivitas fisik berat yang diberikan pada P1 menimbulkan kondisi stres oksidatif. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Chevion et al. (2003). Keadaan ini terjadi karena aktivitas fisik berat menyebabkan peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen yang dapat meningkatkan produksi ROS.
Peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat selama aktivitas fisik berat. Sebagian dari oksigen yang dikonsumsi akan dirubah menjadi ROS, sehingga peningkatan konsumsi oksigen akan mengakibatkan produksi ROS meningkat (Harjanto 2004).
Kebutuhan energi yang meningkat tajam selama aktivitas fisik berat, memacu metabolisme penyediaan energi dalam tubuh. Salah satu alur metabolisme yang penting di sini adalah rantai respirsi. Rantai repirasi tejadi di dalam mitokondria dengan tujuan utama memproduksi energi. Produksi energi tersebut terjadi dengan cara memanfaatkan ekuivalen pereduksi NADH dan FADH2 yang dihasilkan melalui glikolisis, oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan siklus Krebs. Ekuivalen pereduksi tersebut dialirkan melalui seri katalisator dengan gugus terminalnya adalah enzim sitokrom oksidase. Pada gugus terminal inilah oksigen dibutuhkan untuk menangkap ekuivalen pereduksi yang dialirkan (oksigen mengalami reduksi). Reduksi tetravalen dari oksigen akan menghasilkan air. Pada kondisi normal, sekitar 3-5% reduksi tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan reduksi tetravalen inilah yang menghasilkan ROS. semakin banyak energi yang diproduksi melalui rantai respirasi, makin banyak pula ROS yang terbentuk (Halliwell & Gutteridge 1999, Murray et al. 2003).
Pada aktivitas fisik berat peningkatan oksigen yang terjadi sebenarnya belum mencukupi kebutuhan tubuh, sehingga terjadi hipoksemia. Pada kondisi hipoksemia santin dehidrogenase (XD) berubah menjadi santin oksidase (XO), perubahan ini memproduksi ROS, yaitu •O2-. Sesaat setelah aktifitas fisik berat, konsumsi oksigen tetap tinggi, diantaranya digunakan untuk mengatasi hipoksemia. Suplai oksigen yang mencukupi tersebut memungkinkan XO yang terbentuk selama melakukan akifitas fisik berat, mengkatalisis perubahan hipoksantin menjadi asam urat. Reaksi tersebut juga menghasilkan •O2- (Suryohudoyo 2005). Pada aktivitas fisik berat, sumber energi yang penting lainnya adalah glikolisis anaerobik, terutama saat terjadi hipoksemia. Glikolisis anaerobik menghasilkan asam laktat. Makin tinggi intensitas latihan makin tinggi pula asam laktat yang dihasilkan, sehingga menyebabkan akumulasi asam laktat. Asam laktat dapat menubah ROS menjadi lebih reaktif (Hairrudin 2005).
Makin tinggi produksi ROS, makin banyak pula yang gagal dinetralisir oleh sistem antioksidan dalam tubuh, bahkan ROS dapat menyerang sistem antioksidan enzimatis misalnya superoksida dismutase (SOD). Aktifitas fisik berat dapat menururunkan kadar SOD. ROS yang tidak dinetralisir akan bereaksi dengan komponen-komponen tubuh diantaranya PUFA, menyebabkan peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid menghasilkan berbagai produk, diantaranya MDA, sehingga peningkatan produksi ROS pada aktivitas fisik berat, akan mengakibatkan produksi MDA juga meningkat.
Tabel 1. Kadar MDA serum (nmol/ml)
No.
K
P1
P2
1.
33
86
42
2.
44
102
36
3.
51
85
22
4.
56
97
23
5.
41
73
22
6.
32
87
34
7.
43
105
44
8.
39
82
35
Rata –rata
42,38
89,63
32,25
MDA yang dihasilkan tersebut akan dilepaskan ke serum, akibatnya kadar MDA serum akan meningkat. Kondisi seperti ini disebut stres oksidatif. (Yunus 2001, Suryohudoyo 2005). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Harjanto (2003) yang menyatakan bahwa aktifitas fisik berupa latihan olahraga aerobik dapat menyebabkan stres oksidatif. Yunus (2001) mendapatkan bahwa latihan anaerobik berupa swimming stress menyebabkan stres oksidatif yang ditandai dengan peningkatan kadar MDA.
Stres oksidatif banyak terbukti mempunyai peran penting pada proses terbentuknya beberapa penyakit, seperti stroke dan jantung koroner. Mekanisme yang terjadi dapat melalui serangan oksidan terhadap low density lipoprotein (LDL) yang memicu timbulnya aterosklerosis.
Superoksida (•O2-) yang terbentuk selama aktifitas fisik berat bersifat reaktif dan berbahaya bagi tubuh. Enzim SOD dapat menetralisirnya dengan cara merubah dua molekul •O2- menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan O2. Peningkatan •O2- yang terus berlangsung mengakibatkan hidrogen peroksida meningkat, kondisi ini mengakibatkan aktifitas SOD terganggu, bahkan kadarnya dapat menurun, sehingga menimbulkan ketidak seimbangan antara oksidan dan antioksidan endogen. Keseimbangan yang baru dapat terjadi jika tubuh mendapatkan tambahan antioksidan dari luar (Hairrudin 2005).
Pemberian propolis sebagai antioksidan eksogen sebelum aktifitas fisik berat pada P2, terbukti dapat mencegah terjadinya peningkatan ROS. Hal ini disebabkan karena ROS yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan endogen, akan dinetralisir oleh berbagai antioksidan yang dikandung propolis. Flavonoid dan terfenoid pada propolis dapat memberikan elektron pada •O2- dan mengubahnya menjadi O2.
Pemberian propolis dapat mencegah terjadinya penumpukan •O2-, sehingga aktifitas SOD dapat dipertahankan. Hasil akhirnya, keseimbangan antara oksidan dan antioksidan dapat terjaga, dengan kata lain stres oksidatif dapat dihindari.Dampak negatif ROS terhadap tubuh terjadi melalui reaksi rantai (chain reaction). Reaksi rantai tersebut dapat dihentikan oleh antioksidan pemutus rantai, seperti vitamin C dan vitamin E (Suryohudoyo 2005).
Propolis mengandung fenol yang mempunyai daya antioksidan lebih poten dari vitamin C dan vitamin E, sehingga dapat meredam rekasi rantai yang ditimbulkan ROS dengan baik, sebagai akibatnya produksi MDA terhambat. Hal ini dibuktikan dengan kadar MDA pada P2 yang lebih rendah dari P1.
Propolis mengandung beragam antioksidan kuat terutama terpenoid, flavonoid dan fenol. Antioksidan-antioksidan tersebut bekerjasama dalam mencegah stres oksidatif dan menetralisir dampak negatif radikal bebas, sehingga menimbulakan dampak protektif yang optimal. Beberapa antioksidan yang bekerjasama, membentuk suatu jaringan kerja (network) akan menghasilkan daya protektif yang kuat (Halliwell & Gutteridge 1999, Harjanto 2003). Penelitian ini memberikan fakta bahwa propolis mempunyai efek protektif yang baik dalam mencegah terjadinya stres oksidatif pada tikus yang diberi perlakuan aktifitas fisik berat secara bermakna (p=0.00).
Berdasarkan hasil penelitian, analisis statistik dan pembahasan dapat diambil kesimpulan yaitu propolis mempunyai efek protektif terhadap stres oksidatif akibat aktifitas fisik berat (swimmming stress). Aktifitas fisik berat sering menjadi kegiatan rutin pada kelompok masyarakat tertentu, seperti buruh bangunan, petani, nelayan, pekerja kasar, atlit dan tentara. Mereka dapat mengalami stres oksidatif berulang dan terancam menderita berbagai macam penyakit yang diakibatkannya.
Propolis mempunyai efek protektif yang baik dalam mencegah stres oksidatif akibat aktifitas fisik berat. Propolis berpeluang untuk dijadikan bahan obat untuk mencegah terjadinya penyakit akibat aktifitas fisik berat, oleh karena itu diperlukan penelitian atau uji klinik lebih lanjut, misalnya penelitian yang menguji keamanan dan efek samping penggunaan propolis serta penelitian yang menggunakan sampel.




DAFTAR PUSTAKA
Bast A. 1996. Oxidants and antioxidants in the lungs, COPD; diagnosis and treatment, Excerpta Media :33-9.
Chevion S, Moran DS & Heled Y. 2003. Serum antioxidant stress and cell injury after severe physicaal exercise. Proceedings of The United State of America. 100 (9) : 5119-5123.
Donno MD, Verduri A. 2000. Oxidants and antioxidants in pulmonary diseases. European Respiratory News, VIII, Suppl. (World Congress on Lung Health and 10th ERS Annual Congress).
Freisleben HJF. 2001. Free radicals and ROS in biological systems(Radikal bebas dan antioksidan dalam kesehatan) Jakarta: Bagian Biokimia.
Hairrudin, 2005. Pengaruh pemberian ekstrak jinten hitam dalam mencegah stres oksidatif akibat latihan olahraga anaerobik. Jurnal Biomedis III (1) : 1-11.
Halliwell B & Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. 3rd ed. New York: Oxford University Press:291-296, 300-304, 625-638.
Harjanto, 2003. Petanda biologis dan faktor yang mempengaruhi derajat stres oksidatif pada latihan olahraga aerobik sesaat. Disertasi. Surabaya. Program Pascasarjana. Universitas Airlangga.
Harjanto, 2004. Pemulihan stres oksidatif pada latihan olahraga . Jurnal Kedokteran YARSI 12 (3) : 81-87.
Irawan, Anwari.2007. Metabolisme Tubuh dan Olahraga. Polton Sports Science and Performance Lab.
Murray RK, Granner DK, Mayes PA & Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed 25. Jakarta. EGC: 178-205, 729-732.
Ramzi S Cotran, Vinay Kumar & Tucker Collin. 2004. Blood Vessels. In Pathologic Basic of Disease. 6th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company: 493-510.
Rukmini MS, Benedicta D’Sauza & Vivian D’sauza. 2004. Superoxide dismutase and catalase activities and their correlation with malondialdehyde in schizophrenic patients. Indian Journal of Clinical Biochemistry 19(2):114-116.
Santoso, danu. 2003. Peran Radikal bebas Dalam Penyakit Paru. J Kedokteran Trisakti. Januari- April 2003, Vol 22 No.1
Suryohudoyo P. 2005. Oxidant and anti oxidant defense in health and disease. Post graduate Program Airlangga University in Collaboration with Institute of Biochemistry. Hombolt University Berlin Germany. Surabaya: 1-17.
World Health Organization (WHO). 2006. Cardiovaskular Diseases. http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/ [12 April 2009].
Yayasan Stroke Indonesia. 2009. Gejala, Penyebab dan Akibat Stroke [serial online]. http://cegahstroke.blogspot.com/2009/03/gejala-penyebab-dan-akibat-stroke.html. [17 April 2009].
Yunus M. 2001. Pengaruh vitamin C terhadap fragilitas & MDA eritrosit akibat latihan anaerobik. Tesis. Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Zainuddin A. 2000. Metode Penelitian. Program Pasca Sarjana Unair. Surabaya: 73-74.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar