Efek
Protektif Propolis Dalam Mencegah Stres Oksidatif Akibat Aktivitas Fisik Berat (Swimming
Stress)
Oleh : M. Asadullah
Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya
Universitas Brawijaya
Aktifitas
fisik berat dilakukan dengan tujuan diantaranya untuk meningkatkan
kesejahteraan, kesehatan, dan martabat hidup manusia. Contoh aktifitas fisik
berat misalnya olahraga anaerobik seperti renang dan lari jarak pendek. Pada
keadaan tertentu, aktifitas fisik berat dapat memberikan pengaruh negatif yaitu
menghambat atau mengganggu proses fisiologis di dalam tubuh (Chevion et al. 2003).
Salah satu faktor yang mengakibatkan dampak negatif adalah terjadinya
peningkatan pembentukan oksidan. Oksidan mempunyai peran yang penting pada
patogenesis dan perjalanan berbagai penyakit misalnya stroke dan jantung
koroner (Ramzi et al. 2004).
Aktivitas
fisik berat berperan terhadap terjadinya penyakit-penyakit tersebut melalui
peningkatan oksidan endogen. Oksidan endogen sebagian besar justru berasal dari
proses biologis alami yang melibatkan reactive oxygen species (ROS). Radikal
bebas adalah molekul yang mempunyai atom dengan elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas tidak stabil dan mempunyai reaktivitas yang tinggi.
Reaktivitasnya dapat merusak seluruh tipe makromolekul seluler termasuk
karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat (Langseth, 1995).
ROS
merupakan senyawa-senyawa reaktif yang berasal dari oksigen, senyawa yang
diperlukan oleh semua organisme aerobik termasuk manusia (Suryohudoyo 2005).
Jumlah ROS dapat meningkat pada kondisi stres fisik, yang dapat disebabkan oleh
aktivitas fisik berat (Hairrudin 2005).
Kelebihan
produksi radikal bebas atau oksigen yang reaktif (ROS, reactive oxygen species)
dapat merusak jaringan. Pada kondisi ini, oksidan dapat menyerang berbagai
komponen tubuh dengan segala akibatnya. Sebagai contoh misalnya serangan
oksidan terhadap asam lemak tidak jenuh yang merupakan komponen penting
penyusun membran sel. Serangan tersebut dapat menimbulkan reaksi rantai yang
dikenal dengan peroksidasi lipid. Proses tersebut mengakibatkan terputusnya
asam lemak menjadi berbagai senyawa yang toksik terhadap sel, seperti
malondialdehid (MDA) dan 9-hidroksi nonenal. MDA yang dihasilkan kemudian dilepaskan
ke darah, sehingga kadar MDA di darah (serum) dapat dijadikan sebagai petanda
tidak langsung adanya peningkatan ROS (Harjanto 2004). Kenyataan ini
menunjukkan bahwa aktifitas fisik berat dapat menimbulakn efek samping yang
berbahaya bagi kesehatan, melalui peningkatan oksidan, jika sistem pertahanan
antioksidan tubuh tidak mampu menetralisirnya, akan menimbulkan suatu keadaan
yang disebut stres oksidatif. Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa
aktifitas fisik berat berupa swimming stres dapat menyebabkan stres oksidatif
(Hairrudin 2005). Stres oksidatif diyakini sebagai salah satu faktor yang
penting pada timbulnya berbagai macam penyakit, pada kondisi seperti ini
dibutuhkan tambahan antioksidan dari luar (Suryohudoyo 2005).
Salah satu bahan yang mempunyai kandungan antioksidan tinggi
adalah propolis. Propolis terdiri dari beberapa senyawa alami kompleks, yang
sebagian besar mempunyai potensi sebagai antioksidan kuat, antara lain:
terpenoid, flavonoid, dan ester asam fenolat. Propolis juga diketahui mempunyai
kandungan fenol yang tinggi. Fenol adalah suatu senyawa yang memiliki gugus
hidroksil (OH-) yang mempunyai efek sebagai antioksidan karena mampu mengikat
dan menetralisir radikal bebas. Fenol merupakan antioksidan yang lebih
potensial dibanding vitamin C, E, dan beta-caroten (Halliwell & Gutteridge
1999). Kandungan antioksidan dari propolis diduga dapat mencegah terjadinya
stres oksidatif, sehingga dapat digunakan untuk mencegah timbulnya beberapa
penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan apakah propolis dapat
mencegah stres oksidatif akibat aktivitas fisik berat.
Di dalam berbagai
jenis olahraga baik olahraga dengan gerakan-gerakan yang bersifat konstan
seperti jogging, marathon dan bersepeda atau juga pada olahraga yang melibatkan
gerakangerakan yang explosif seperti menendang bola atau gerakan smash dalam
olahraga tenis atau bulutangkis, jaringan otot hanya akan memperoleh energi
dari pemecahan molekul adenosinetriphospate atau yang biasa disingkat
sebagai ATP.
Melaui simpanan energi
yang terdapat di dalam tubuh yaitu simpanan phosphocreatine (PCr),
karbohidrat, lemak dan protein, molekul ATP ini akan dihasilkan melalui
metabolisme energi yang akan melibatkan beberapa reaksi kimia yang kompleks.
Pengunaan simpanan-simpanan energi tersebut beserta jalur metabolisme energi
yang akan digunakan untuk menghasilkan molekul ATP ini juga akan bergantung
terhadap jenis aktivitas serta intensitas yang dilakukan.
Peningkatan metabolisme dan konsumsi
oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat selama
aktivitas fisik berat. Sebagian dari oksigen yang dikonsumsi akan dirubah
menjadi ROS, sehingga peningkatan konsumsi oksigen akan mengakibatkan produksi
ROS meningkat (Harjanto 2004).
Kebutuhan energi yang meningkat
tajam selama aktivitas fisik berat, memacu metabolisme penyediaan energi dalam
tubuh. Salah satu alur metabolisme yang penting di sini adalah rantai respirsi.
Rantai repirasi tejadi di dalam mitokondria dengan tujuan utama memproduksi
energi. Produksi energi tersebut terjadi dengan cara memanfaatkan ekuivalen
pereduksi NADH dan FADH2 yang dihasilkan melalui glikolisis, oksidasi piruvat,
oksidasi asam lemak dan siklus Krebs. Ekuivalen pereduksi tersebut dialirkan
melalui seri katalisator dengan gugus terminalnya adalah enzim sitokrom
oksidase. Pada gugus terminal inilah oksigen dibutuhkan untuk menangkap
ekuivalen pereduksi yang dialirkan (oksigen mengalami reduksi). Reduksi
tetravalen dari oksigen akan menghasilkan air. Pada kondisi normal, sekitar
3-5% reduksi tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan reduksi tetravalen inilah
yang menghasilkan ROS. Makin banyak energi yang diproduksi melalui rantai
respirasi, makin banyak pula ROS yang terbentuk (Halliwell & Gutteridge
1999, Murray et al. 2003).
Semua proses biologis pada manusia
hakekatnya merupakan suatu keseimbangan yang bersifat dinamis. Kita mengenal
keseimbangan antara berbagai sistem dalam tubuh seseorang, antara lain sistim
asam dan basa, saraf simpatis dan para-simpatis, endokrin dengan mekanisme
umpan baliknya. Akhir-akhir ini semakin sering dibicarakan suatu sistim
keseimbangan baru yang 40 tahun lalu masih sama sekali belum dikenal, yaitu
keseimbangan dinamis antara oksidan dan antioksidan (Danusantoso, 2003).
Sebagaimana halnya dengan proses
biologis umumnya selalu terbuka kemungkinan untuk timbulnya efek samping yang
tidak dikehendaki. Demikian pula halnya dengan metabolisme aerob yang setiap
saat terjadi dalam tubuh manusia. Dalam hal ini oksigen dari udara luar melalui
proses bernapas dihirup masuk kedalam paru untuk kemudian terserap kedalam darah kapiler dan
akhirnya dialirkan ke seluruh tubuh. Oksigen ini dipakai dalam metabolisme
semua sel tubuh. Tetapi sayang sekali akan timbul efek samping yaitu dihasilkan
apa yang dikenal sebagai radikal bebas (free radicals atau FR) dan
spesies oksigen reaktif (reactive oxygen species atau ROS), disamping
itu berbagai aktivitas biologis lain juga menghasilkan FR maupun ROS, misalnya
fagositosis.
FR adalah suatu atom atau moleklul
yang mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan dalam
strukturnya (digambarkan dengan simbol titik dibelakang rumus kimianya).
Sebaliknya, kebanyakan biomolekul memiliki elektron yang berpasangan. Oleh
karena itu FR adalah sangat reaktif, karena pada dasarnya elektron yang tidak
berpasangan akan berupaya keras untuk dapat menemukan elektron lain untuk dapat
berpasangan, baik dengan menghibahkan elektron yang tak berpasangan tersebut
(proses oksidasi), maupun menerima elektron dari sumber lain (proses reduksi).
Mudah terjadinya reaksi kimia berantai ini adalah ciri khas dari reaktivitas
yang begitu tinggi dari FR.
Berbagai proses biologis juga menjadi sumber terbentuknya ROS,
namun sumber utama dalam keadaan fisiologis ialah transportasi elektron di
mitokondria, yaitu saat terjadinya metabolisme energi secara aerob (sintesa adenosine
triphosphate/ ATP melalui siklus Krebs dari glukosa dan melalui oksidasi
asam lemak). Proses ini terjadi dalam empat tahap yang akan mengubah oksigen
yang dihirup menjadi air; pada masing-masing tahap ROS yang terbentuk pada
orang sehat terkontrol dengan rapi dan tidak akan dilepaskan dari ikatan dengan
induk molekulnya yang mengandung Fe atau Cu, dengan lain perkataan,
keseimbangan dinamis pada orang sehat tetap terjaga dengan baik.
Contoh lain dari proses biologis penghasil ROS ialah fagositosis
bakteri maupun virus dengan oxygen burst atau respiratory burst (yaitu
peningkatan mendadak kebutuhan oksigen dengan dosis tinggi). Belakangan ini
baru diketahui bahwa pada penderita dengan penyakit granulomatosis kronis
didapatkan kadar anion superoksid atau O2 yang rendah. Hal ini disebabkan
adanya suatu defek genetik yang menghambat produksinya melalui enzim nicotinamide
adenine dinucleotide phosphatase hydrogen (NADPH) oxydase yang
terdapat pada dinding sel, akibatnya terjadilah gangguan pemusnahan beberapa
jenis bakteri tertentu. Demikian pula dengan gugus radikal NO yang dapat
menghasilkan efek bakterisid yang kuat. Bila karena suatu dan lain sebab
produksi radikal ini terhambat, maka penderitanya akan dengan mudah terkena
penyakit infeksi.
Beberapa proses biologis lain melalui enzimenzim tertentu juga akan
menghasilkan ROS, misalnya perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin dan
prostasiklin, proses oksigenasi hemoglobin (Hb). Masih banyak proses
biologis lain yang akhir-akhir ini diketahui juga mengakibatkan terbentuknya
ROS.
Kehidupan aerob begitu sarat dengan pembentukan ROS yang sama
sekali tidak dapat dihindarkan, bahkan sebaliknya berbagai ROS memang
dibutuhkan oleh tubuh demi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian adalah sangat
vital bagi tubuh untuk memelihara keseimbangan fisiologis proses
reduksi-oksidasi dari tingkat seluler sampai secara keseluruhan organ-organ
seluruh tubuh. Hanya dengan homeostasis yang baik dapat dicapai kesehatan optimal.
Dalam keadaan patologis keseimbangan dinamis akan mengalami
gangguan. Biasanya dalam keadaan ini akan dijumpai peningkatan ROS dalam jumlah
yang luar biasa banyaknya yang dapat berasal dari sumber eksogen maupun dari
sumber endogen. Dari manapun asalnya, peningkatan ROS akan mengakibatkan
kerusakan dari sel-sel tertentu sampai ke jaringan-jaringan terkait setempat
atau di organ yang jauh dari tempat diproduksinya. Hal ini dimungkinkan karena
ROS akan dengan mudah terangkut dengan aliran darah keseluruh tubuh. Begitu
juga sebaliknya, setiap proses yang mengakibatkan terjadinya produksi ROS
secara berkelebihan, baik itu fisiologis maupun patologis, dibagian tubuh yang
manapun juga, dapat dengan mudah memperparah penyakit paru yang sudah ada yang
disebabkan oleh stres oksidatif.
Antioksidan adalah zat yang dapat
melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas yang terbentuk sebagai hasil
metabolisme oksidatif, yaitu hasil dari reaksireaksi kimia dan proses metabolik
yang terjadi di dalam tubuh. Berbagai bukti ilmiah menunjukkan bahwa senyawa
antioksidan mengurangi risiko terhadap
penyakit kronis, seperti kanker dan penyakit jantung koroner (Amrun et al. 2007).
Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa pada hakekatnya Antioksidan ialah senyawa yang dengan mudah akan memberi
elektron. Dengan demikian maka suatu oksidan (antara lain ROS) akan lebih
dahulu bereaksi dengan Antioksidan dibandingkan dengan sel jaringan tubuh,
sehingga dengan demikian sel tubuh tersebut tetap selamat dan utuh. Dengan lain
perkataan, Antioksidan ialah suatu zat yang dapat meredam efek destruktif ROS.
Dari
pengukuran kadar MDA serum yang dilakukan, didapatkan data seperti pada Tabel
1. Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa rata-rata kadar MDA serum pada
kelompok kontrol (K) = 42,38 nmol/ml, sedangkan pada kelompok yang diberi
perlakuan (P1) = 89,63 nmol/l. Dari data tersebut dapat kita ketahui bahwa
rata-rata kadar MDA serum kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa swimming stress yang
diberikan pada kelompok P1, menyebabkan stres oksidatif yang ditandai dengan
peningkatan kadar MDA serum secara bermakna (p=0,00).
Fakta
tersebut menunjukkan bahwa aktivitas fisik berat yang diberikan pada P1
menimbulkan kondisi stres oksidatif. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Chevion et al. (2003). Keadaan ini terjadi karena
aktivitas fisik berat menyebabkan peningkatan metabolisme dan konsumsi oksigen
yang dapat meningkatkan produksi ROS.
Peningkatan
metabolisme dan konsumsi oksigen diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi
yang meningkat selama aktivitas fisik berat. Sebagian dari oksigen yang
dikonsumsi akan dirubah menjadi ROS, sehingga peningkatan konsumsi oksigen akan
mengakibatkan produksi ROS meningkat (Harjanto 2004).
Kebutuhan
energi yang meningkat tajam selama aktivitas fisik berat, memacu metabolisme
penyediaan energi dalam tubuh. Salah satu alur metabolisme yang penting di sini
adalah rantai respirsi. Rantai repirasi tejadi di dalam mitokondria dengan
tujuan utama memproduksi energi. Produksi energi tersebut terjadi dengan cara
memanfaatkan ekuivalen pereduksi NADH dan FADH2 yang dihasilkan melalui
glikolisis, oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan siklus Krebs. Ekuivalen
pereduksi tersebut dialirkan melalui seri katalisator dengan gugus terminalnya
adalah enzim sitokrom oksidase. Pada gugus terminal inilah oksigen dibutuhkan
untuk menangkap ekuivalen pereduksi yang dialirkan (oksigen mengalami reduksi).
Reduksi tetravalen dari oksigen akan menghasilkan air. Pada kondisi normal,
sekitar 3-5% reduksi tersebut mengalami kegagalan. Kegagalan reduksi tetravalen
inilah yang menghasilkan ROS. semakin banyak energi yang diproduksi melalui
rantai respirasi, makin banyak pula ROS yang terbentuk (Halliwell &
Gutteridge 1999, Murray et al. 2003).
Pada
aktivitas fisik berat peningkatan oksigen yang terjadi sebenarnya belum
mencukupi kebutuhan tubuh, sehingga terjadi hipoksemia. Pada kondisi hipoksemia
santin dehidrogenase (XD) berubah menjadi santin oksidase (XO), perubahan ini
memproduksi ROS, yaitu •O2-. Sesaat setelah aktifitas fisik berat, konsumsi
oksigen tetap tinggi, diantaranya digunakan untuk mengatasi hipoksemia. Suplai
oksigen yang mencukupi tersebut memungkinkan XO yang terbentuk selama melakukan
akifitas fisik berat, mengkatalisis perubahan hipoksantin menjadi asam urat.
Reaksi tersebut juga menghasilkan •O2- (Suryohudoyo 2005). Pada aktivitas fisik
berat, sumber energi yang penting lainnya adalah glikolisis anaerobik, terutama
saat terjadi hipoksemia. Glikolisis anaerobik menghasilkan asam laktat. Makin
tinggi intensitas latihan makin tinggi pula asam laktat yang dihasilkan,
sehingga menyebabkan akumulasi asam laktat. Asam laktat dapat menubah ROS
menjadi lebih reaktif (Hairrudin 2005).
Makin
tinggi produksi ROS, makin banyak pula yang gagal dinetralisir oleh sistem
antioksidan dalam tubuh, bahkan ROS dapat menyerang sistem antioksidan
enzimatis misalnya superoksida dismutase (SOD). Aktifitas fisik berat dapat
menururunkan kadar SOD. ROS yang tidak dinetralisir akan bereaksi dengan
komponen-komponen tubuh diantaranya PUFA, menyebabkan peroksidasi lipid.
Peroksidasi lipid menghasilkan berbagai produk, diantaranya MDA, sehingga
peningkatan produksi ROS pada aktivitas fisik berat, akan mengakibatkan
produksi MDA juga meningkat.
Tabel 1. Kadar MDA serum (nmol/ml)
No.
|
K
|
P1
|
P2
|
1.
|
33
|
86
|
42
|
2.
|
44
|
102
|
36
|
3.
|
51
|
85
|
22
|
4.
|
56
|
97
|
23
|
5.
|
41
|
73
|
22
|
6.
|
32
|
87
|
34
|
7.
|
43
|
105
|
44
|
8.
|
39
|
82
|
35
|
Rata –rata
|
42,38
|
89,63
|
32,25
|
MDA yang
dihasilkan tersebut akan dilepaskan ke serum, akibatnya kadar MDA serum akan
meningkat. Kondisi seperti ini disebut stres oksidatif. (Yunus 2001,
Suryohudoyo 2005). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Harjanto (2003) yang menyatakan bahwa aktifitas fisik berupa latihan olahraga
aerobik dapat menyebabkan stres oksidatif. Yunus (2001) mendapatkan bahwa
latihan anaerobik berupa swimming stress menyebabkan stres oksidatif yang
ditandai dengan peningkatan kadar MDA.
Stres
oksidatif banyak terbukti mempunyai peran penting pada proses terbentuknya
beberapa penyakit, seperti stroke dan jantung koroner. Mekanisme yang terjadi
dapat melalui serangan oksidan terhadap low density lipoprotein (LDL) yang
memicu timbulnya aterosklerosis.
Superoksida
(•O2-) yang terbentuk selama aktifitas fisik berat bersifat reaktif dan
berbahaya bagi tubuh. Enzim SOD dapat menetralisirnya dengan cara merubah dua
molekul •O2- menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan O2. Peningkatan •O2- yang
terus berlangsung mengakibatkan hidrogen peroksida meningkat, kondisi ini
mengakibatkan aktifitas SOD terganggu, bahkan kadarnya dapat menurun, sehingga
menimbulkan ketidak seimbangan antara oksidan dan antioksidan endogen.
Keseimbangan yang baru dapat terjadi jika tubuh mendapatkan tambahan
antioksidan dari luar (Hairrudin 2005).
Pemberian
propolis sebagai antioksidan eksogen sebelum aktifitas fisik berat pada P2,
terbukti dapat mencegah terjadinya peningkatan ROS. Hal ini disebabkan karena
ROS yang tidak dapat dinetralisir oleh antioksidan endogen, akan dinetralisir
oleh berbagai antioksidan yang dikandung propolis. Flavonoid dan terfenoid pada
propolis dapat memberikan elektron pada •O2- dan mengubahnya menjadi O2.
Pemberian
propolis dapat mencegah terjadinya penumpukan •O2-, sehingga aktifitas SOD
dapat dipertahankan. Hasil akhirnya, keseimbangan antara oksidan dan
antioksidan dapat terjaga, dengan kata lain stres oksidatif dapat dihindari.Dampak
negatif ROS terhadap tubuh terjadi melalui reaksi rantai (chain reaction).
Reaksi rantai tersebut dapat dihentikan oleh antioksidan pemutus rantai,
seperti vitamin C dan vitamin E (Suryohudoyo 2005).
Propolis
mengandung fenol yang mempunyai daya antioksidan lebih poten dari vitamin C dan
vitamin E, sehingga dapat meredam rekasi rantai yang ditimbulkan ROS dengan
baik, sebagai akibatnya produksi MDA terhambat. Hal ini dibuktikan dengan kadar
MDA pada P2 yang lebih rendah dari P1.
Propolis
mengandung beragam antioksidan kuat terutama terpenoid, flavonoid dan fenol.
Antioksidan-antioksidan tersebut bekerjasama dalam mencegah stres oksidatif dan
menetralisir dampak negatif radikal bebas, sehingga menimbulakan dampak
protektif yang optimal. Beberapa antioksidan yang bekerjasama, membentuk suatu
jaringan kerja (network) akan menghasilkan daya protektif yang kuat (Halliwell
& Gutteridge 1999, Harjanto 2003). Penelitian ini memberikan fakta bahwa
propolis mempunyai efek protektif yang baik dalam mencegah terjadinya stres
oksidatif pada tikus yang diberi perlakuan aktifitas fisik berat secara
bermakna (p=0.00).
Berdasarkan
hasil penelitian, analisis statistik dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
yaitu propolis mempunyai efek protektif terhadap stres oksidatif akibat
aktifitas fisik berat (swimmming stress). Aktifitas fisik berat sering menjadi
kegiatan rutin pada kelompok masyarakat tertentu, seperti buruh bangunan,
petani, nelayan, pekerja kasar, atlit dan tentara. Mereka dapat mengalami stres
oksidatif berulang dan terancam menderita berbagai macam penyakit yang
diakibatkannya.
Propolis
mempunyai efek protektif yang baik dalam mencegah stres oksidatif akibat
aktifitas fisik berat. Propolis berpeluang untuk dijadikan bahan obat untuk
mencegah terjadinya penyakit akibat aktifitas fisik berat, oleh karena itu
diperlukan penelitian atau uji klinik lebih lanjut, misalnya penelitian yang
menguji keamanan dan efek samping penggunaan propolis serta penelitian yang
menggunakan sampel.
DAFTAR PUSTAKA
Bast A. 1996.
Oxidants and antioxidants in the lungs, COPD; diagnosis and treatment,
Excerpta Media :33-9.
Chevion S,
Moran DS & Heled Y. 2003. Serum antioxidant stress and cell injury after
severe physicaal exercise. Proceedings of The United State of America. 100
(9) : 5119-5123.
Donno MD,
Verduri A. 2000. Oxidants and antioxidants in pulmonary diseases.
European Respiratory News, VIII, Suppl. (World Congress on Lung Health and 10th
ERS Annual Congress).
Freisleben HJF.
2001. Free radicals and ROS in biological systems(Radikal bebas dan
antioksidan dalam kesehatan) Jakarta: Bagian Biokimia.
Hairrudin,
2005. Pengaruh pemberian ekstrak jinten hitam dalam mencegah stres oksidatif
akibat latihan olahraga anaerobik. Jurnal Biomedis III (1) :
1-11.
Halliwell B
& Gutteridge JMC. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. 3rd
ed. New York: Oxford University Press:291-296, 300-304, 625-638.
Harjanto, 2003.
Petanda biologis dan faktor yang mempengaruhi derajat stres oksidatif pada
latihan olahraga aerobik sesaat. Disertasi. Surabaya. Program Pascasarjana.
Universitas Airlangga.
Harjanto, 2004.
Pemulihan stres oksidatif pada latihan olahraga . Jurnal Kedokteran YARSI 12
(3) : 81-87.
Irawan,
Anwari.2007. Metabolisme Tubuh dan Olahraga. Polton Sports Science and
Performance Lab.
Murray RK,
Granner DK, Mayes PA & Rodwell VW. 2003. Biokimia Harper. Ed 25.
Jakarta. EGC: 178-205, 729-732.
Ramzi S Cotran,
Vinay Kumar & Tucker Collin. 2004. Blood Vessels. In Pathologic Basic of
Disease. 6th ed. Philadelphia: WB. Saunders Company: 493-510.
Rukmini MS,
Benedicta D’Sauza & Vivian D’sauza. 2004. Superoxide dismutase and catalase
activities and their correlation with malondialdehyde in schizophrenic
patients. Indian Journal of Clinical Biochemistry 19(2):114-116.
Santoso, danu.
2003. Peran Radikal bebas Dalam Penyakit Paru. J Kedokteran Trisakti. Januari- April 2003, Vol 22 No.1
Suryohudoyo P.
2005. Oxidant and anti oxidant defense in health and disease. Post graduate
Program Airlangga University in Collaboration with Institute of Biochemistry.
Hombolt University Berlin Germany. Surabaya: 1-17.
World Health
Organization (WHO). 2006. Cardiovaskular Diseases.
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/en/ [12 April 2009].
Yayasan Stroke
Indonesia. 2009. Gejala, Penyebab dan Akibat Stroke [serial online].
http://cegahstroke.blogspot.com/2009/03/gejala-penyebab-dan-akibat-stroke.html.
[17 April 2009].
Yunus M. 2001.
Pengaruh vitamin C terhadap fragilitas & MDA eritrosit akibat latihan
anaerobik. Tesis. Surabaya : Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Zainuddin A.
2000. Metode Penelitian. Program Pasca Sarjana Unair. Surabaya: 73-74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar