Selasa, 02 Juni 2015

Moringa Oliefera Lamk



Penurunan kadar asam lemak bebas (ALB) dan angka peroksida  minyak goreng bekas (jelantah) menggunakan  biji kelor dengan metode despicing dan bleaching


Moh. Taufiq1,2

1Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya Malang
                                                                                          
                                                                A B S T R A K

Penggunaan biji kelor yang berasal dari Sumenep Madura telah mampu menurunkan kadar asam lemak bebas (ALB) dan angka peroksida  pada minyak goreng bekas (jelantah). Penelitian ini dilakukan menggunakan metode despicing, and bleaching dengan variasi waktu pengadukan dan dosis biji kelor. Hasil penelitian menujukkan bahwa persentase penurunan kadar ALB dan angka peroksida tercapai pada penambahan dosis optimum biji kelor 125mg/200 g minyak goreng bekas dengan waktu pengadukan 45 menit. Kadar ALB dan angka peroksida masing-masing mengalami penurunan sebesar 74,6 % dan 84,0 %. Warna minyak goreng bekas juga mengalami peningkatan sebesar 38,20 % untuk warna cerah (L), 60,90 % warna merah (a*) dan 58,26 % warna kuning.  Interaksi yang terjadi antara sebuk biji kelor dengan zat-zat pengotor dalam minyak goreng bekas melibatkan proses adsorpsi dan koagulasi. Fenomena tersebut terjadi karena banyaknya gugus aktif dalam protein biji  kelor yang berasal dari polimer asam amino (NH2 dan COOH) seperti C=O karbonil, CH, dan R-O aromatik.
 
Kata kunci: Biji kelor, Minyak jelantah, Asam lemak bebas, Peroksida 

1.    Pendahuluan
      Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan bahan pokok penduduk Indonesia dengan tingkat konsumsi yang mencapai lebih dari 2,5 juta ton per tahun, atau lebih dari 12 kg per orang per tahun. Dalam kehidupan sehari-hari minyak goreng digunakan dalam memasak sebagai medium penghantar panas, baik pada proses menumis, menggoreng dengan jumlah minyak terbatas (shallow- atau pan frying), maupun menggoreng dengan jumlah minyak yang banyak dan bahan yang digoreng terendam dalam minyak (deep frying). Minyak yang digunakan dalam proses menumis akan memberikan citarasa yang lebih lezat, dan aroma serta penampakan yang lebih menarik daripada makanan yang direbus atau dikukus. Minyak goreng juga membuat makanan menjadi renyah, kering, dan berwarna keemasan/kecoklatan, akan tetapi jika minyak goreng digunakan secara berulang kali akan membahayakan kesehatan (Widayat, Suherman dan Haryani, 2006).
      Pernyataan di atas telah dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan Silalahi dkk., (2005) tentang studi awal kualitas minyak goreng bekas penggunaan berulang yang hasilnya menunjukkan bahwa minyak goreng bekas banyak mengalami perubahan fisiko-kimia selama penggorengan seperti kenaikan bilangan peroksida, kenaikan bilangan asam lemak bebas (ALB), warna menjadi cokelat dan bau yang tidak sedap. Selain ALB, minyak goreng bekas juga mengandung peroksida yang merupakan produk awal dari reaksi yang bersifat labil. Reaksi ini dapat berlangsung bila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak. Oksidasi biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida. Selanjutnya terurainya asam-asam lemak yang disertai dengan konversi hidroperoksida menjadi aldehida dan keton serta asam-asalm lemak bebas (Ketaren, 2005).
Minyak goreng dengan kadar ALB dan angka peroksida yang tinggi dapat mengakibatkan penyakit bagi tubuh seperti pengendapan lemak dalam pembuluh darah, nilai cerna lemak menurun, kardiovaskuler, dan bahkan kanker hati. Minyak tersebut sudah tidak layak dikonsumsi, karena dapat mengganggu kesehatan. Allah telah menganjurkan kepada kita untuk selalu mengkonsumsi makanan atau minuman yang halal dan baik bagi tubuh serta tidak menimbulkan penyakit setelah memakan dan meminumnya. Hal demikian difirmankan olehNya dalam alquran surat al-baqarah ayat 168.

 

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu (QS. Al-baqarah; 168).

Maksud dari ayat ini adalah makanan yang dikonsumsi tidak hanya harus bersifat halal, tetapi juga baik bagi tubuh. Misalnya mengandung banyak vitamin, karbohidrat, protein, lemak dan lai-lain, namun tidak mengakibatkan penyakit setelah mengkonsumsi.
      Agar minyak goreng bekas yang mengandung ALB dan peroksida tinggi (melebihi standar) tidak dibuang percuma, maka perlu dilakukan pengolahan kembali dengan metode penghilangan bumbu (despicing) dan bleaching. Pada  proses bleaching agen pemucat yang digunakan adalah biji kelor tanpa dikupas kulit arinya. Biji kelor berasal dari tanaman moringa oliefera lamk yang berfungsi sebagai suatu koagulan organik alami, mengandung 15,5 % protein dan 38,4 g protein per 100 g biji kelor kering. Zat aktif yang terdapat dalam protein tersebut adalah 4 alfa 4 rhamnocyloxy benzyl isothiocyanate berfungsi sebagai pengadsorpsi sekaligus menetralkan tegangan permukaan dari partikel-partikel koloid (Anonymoous, 2004).

 
Hasil penelitian Savitri (2006), disebutkan bahwa biji kelor mampu mendegradasi warna hingga 98 %, penurunan BOD 62 %, (Chanra, 2004) mampu memproduksi bakteri secara luar biasa, yaitu sebanyak 90-99,9 % (Winarno, 2003).Diharapkan penggunaan biji kelor tanpa dikupas kulit arinya dapat memperbaiki kualitas fisikokimia minyak goreng bekas seperti ALB, angka peroksida, dan warna yang memenuhi standar nasional indonesia (SNI 3741-1995).


2. Pembahasan
2.1 Proses despicing
Berdasarkan hasil despicing menunjukkan bahwa bumbu pada minyak goreng bekas kebanyakan larut dalam air dan ikut mengendap di atas permukaan air. Minyak goreng yang dihasilkan menjadi lebih jernih dan baunya normal kembali dibandingkan dengan minyak goreng bekas sebelum despicing. Apabila dibandingkan dengan  minyak baru, minyak goreng bekas memiliki nilai ALB dan angka peroksida yang lebih tinggi. Gambar 1 menunjukkan bahwa nilai ALB dan angka peroksida mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan dengan minyak baru. Persentase peningkatan nilai ALB sebesar 88 %, sedangkan angka peroksida sebesar 90 %. Besarnya nilai ALB dan angka peroksida tersebut disebabkan suhu pemanasan yang sangat tinggi dengan waktu yang cukup lama.

Akibat pemakaian yang terlalu lama dalam suhu tinggi minyak atau lemak mengalami reaksi hidrolisis yang dapat membentuk asam-asam lemak bebas dan gloserol. Reaksi inilah menjadi faktor utama penyebab kerusakan lemak atau minyak. Reaksi hidrolisis minyak dan pembentukan peroksida dapat digambarkan sebagai berikut.
 
Selain ALB, dalam proses oksidasi minyak akan menghasilkan produk peroksida labil yang mudah membentuk sederetan senyawa dengan bobot molekul rendah dan memiliki rantai karbon lebih pendek seperti aldehid dan keton (Gambar 2b).

2.2 Optimasi waktu pengadukan pada proses bleaching
Penentuan waktu pengadukan ini dilakukan untuk mengetahui berapa waktu pengadukan optimum yang dibutuhkan serbuk biji kelor dalam menurunkan kadar asam lemak bebas, angka peroksida dan warna yang terdapat pada minyak goreng bekas. Tahapan ini dilakukan dengan cara variasi waktu pengadukan, sedangkan dosis serbuk biji kelor ditetapkan yaitu 75 mg/200 g minyak goreng bekas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu pengadukan optimum dicapai pada menit ke 45 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4a.
Gambar 4a terlihat bahwa penurunan nilai ALB dan angka peroksida optimum tercapai pada waktu pengadukan 45 menit dengan nilai ALB 0,182 % dan angka peroksida sebesar 28,66 meq/kg. Angka tersebut menunjukkan penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 63,6 % untuk nilai ALB dan 71,34 % untuk angka peroksida.

    Pada waktu pengadukan 45 menit (Gambar 4a), biji kelor beserta kulit ari mampu menjalankan fungsinya sebagai koagulasi dan adsorben dalam menyerap zat-zat pengotor pada minyak goreng bekas. Selain itu, pengadukan selama 45 menit ini merupakan waktu yang cukup bagi biji kelor untuk melakukan interaksi dengan minyak goreng bekas, sehingga proses pengambilan ALB dan peroksida cukup optimal.
   Pada waktu pengadukan 60 menit dan 75 menit ALB dan peroksida yang terserap semakin menurun yaitu 33,2 % dan 18,6 % untuk ALB sedangkan untuk peroksida sebesar 45,34 % dan 35,12 %. Fenomena ini menunjukkan bahwa interaksi antara serbuk biji kelor dengan minyak goreng bekas tidak hanya melibatkan proses adsorpsi, tapi juga koagulasi. Hal ini diperkuat dengan adanya perubahan (tidak konstan) nilai ALB dan angka peroksida setelah mencapai keseimbangan. Berdasarkan fenomena tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa jika waktu pengadukan optimum sudah tercapai, maka daya dorong ALB dan peroksida untuk menempati pori-pori dari serbuk biji kelor beserta kulit ari sedikit menurun, bahkan terjadi pelepasan kembali zat-zat pengotor yang sudah teradsorpsi.
Energi yang dihasilkan dari proses pengadukan menyebabkan interaksi antara serbuk biji kelor dengan minyak goreng bekas berjalan serentak dan intensif. Pada waktu pengadukan optimum belum tercapai, energi ini ikut mendorong ALB dan peroksida untuk menempati pori-pori kosong pada serbuk biji kelor, akan tetapi jika melebihi waktu pengadukan optimum energi ini justru melemahkan interaksi antara keduanya sehingga proses adsorpsi dan koagulasi terhadap ALB dan peroksida tidak berjalan optimal.

2.3 Optimasi dosis biji kelor dalam proses bleaching

     Penentuan dosis biji kelor dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan serbuk biji kelor dalam menurunkan ALB, angka peroksida dan warna sesuai dosis yang ditambahkan. Tahapan ini dilakukan dengan cara variasi dosis serbuk biji kelor, sedangkan waktu pengadukan yang digunakan adalah waktu optimum (45 menit). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan nilai ALB dan angka peroksida optimum tercapai pada penambahan dosis 125 mg/200 g yang ditunjukkan pada Gambar 4b.
      Secara umum, semakin banyak dosis serbuk biji kelor dapat meningkatkan proses penyerapan ALB dan peroksida pada minyak goreng bekas, akan tetapi sepanjang penelitian yang peneliti amati tidak demikian karena pada dosis yang lebih tinggi dari 125 mg (dosis optimum), dalam hal ini 150 dan 175 mg terjadi penurunan yaitu 58,8 %, 49,0 % untuk ALB dan 80,67 %, 76,67 % untuk peroksida. Hal ini terjadi karena makin banyak dosis yang ditambahkan pada minyak goreng bekas mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara molekul yang akan diserap dengan benda penyerap (adsorben) sehingga proses pengambilan ALB dan peroksida tidak berjalan dengan  baik. Selain itu disebabkan karena kapasitas adsorpsi yang optimum sudah tercapai pada dosis yang lebih kecil yaitu 125 mg. Akibatnya, jika dosis diperbesar maka gaya tarik antar partikel semakin menurun karena adsorben terlalu banyak dan tidak seimbang dengan jumlah adsorbat. Hal inilah mengakibatkan proses adsorpsi tidak maksimal.
      Besarnya persentase penurunan kadar ALB dan angka peroksida menjadi tolok ukur banyaknya kandungan gugus aktif dalam protein biji kelor yang berasal dari polimer asam amino (NH2 dan COOH) seperti C=O, CH3, CH, R-O-Ar dan lain-lain. Serta adanya logam-logam lain yang berpotensi untuk mengadsorpsi sekaligus menetralkan tegangan permukaan dari partikel-partikel minyak goreng bekas sehingga terbentuk endapan serbuk biji kelor yang tergabung bersama-sama dengan peroksida.
     Muharto (2004) dalam Wardhana (2005) menyebutkan bahwa dalam biji kelor terkandung logam-logam alkali kuat yaitu K dan Na serta logam-logam lain. Logam-logam tersebut (Na dan K) merupakan kutub positif, sedang logam lainnya merupakan kutub negatif. Komponen-komponen itulah yang berpotensi untuk digunakan sebagai pemucat minyak goreng bekas karena dapat mengadakan ikatan tarik menarik elektrostatis.

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa minyak goreng bekas hasil reprosessing pada waktu pengadukan dan dosis optimum memiliki kadar ALB dan angka peroksida yang mendekati minyak baru (0,06 % untuk ALB dan 10 meq/kg untuk angka peroksida). Nilai ALB pada waktu pengadukan dan dosis optimum adalah 0,182 % dan 0,127 %, sedangkan angka peroksida yaitu 28,66 meq/kg dan 16 meq. Jika dibandingkan dengan SNI 1995, nilai ALB tersebut sudah memenuhi standart yaitu maksimal 0,3 %, sedangkan angka peroksida belum memenuhi SNI 1995 dengan kandungan angka peroksida maksimal 2 meq/kg.

2.4 Analisis warna
     Analisis warna minyak goreng baru, bekas, dan hasil reprosessing dilakukan dengan menggunakan color reader (CR.10). parameter pembacaan L, a*, b*. Parameter L menunjukkan tingkat kecerahan dengan skala 0 (gelap atau hitam) sampai 100 (cerah atau terang). Parmeter a* menunjukkan tingkat warna jingga sampai merah dengan skala -100 sampai +100. Nilai negatif menunjukkan warna biru, sedangkan nilai positif menyatakan kecenderungan warna merah. Sedangkan parameter b* menunjukkan adanya warna kuning. Hasil analisis warna minyak goreng dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Berdasarkan Tabel 2 minyak goreng hasil bleaching mengalami peningkatan warna cerah sebesar 38,2 %, warna merah mengalami penurunan sebesar 60,9 %, sedangkan warna kuning mengalami peningkatan sebesar 58,26 %. 
       Peningkatan warna cerah terjadi karena kotoran berupa bumbu-bumbu yang terakumulasi dalam minyak akibat penggorengan bahan pangan atau disebut juga dengan komponen senyawa polar (garam, gula, protein) sudah larut bersama air dan ikut mengendap di atas permukaan air. Komponen senyawa polar tersebut larut dalam air dikarenakan memiliki polaritas yang hampir sama dengan air. Warna gelap kemerahan mengalami penurunan disebabkan adanya pemucat serbuk biji kelor yang dibantu dengan pemanasan pada suhu yang tidak terlalu tinggi 70-100 oC. Adanya kombinasi pada proses bleaching ini mengakibatkan warna gelap kemerahan terserap oleh serbuk biji kelor dan sebagian yang lain rusak akibat pemanasan. Peningkatan warna kuning dikarenakan hilangnya warna gelap, cokelat dan kemerah-merahan pada saat bleaching dengan serbuk biji kelor.  Akibatnya zat warna alamiah yang ikut terekstraksi bersama minyak pada proses ekstraksi muncul kembali. Zat warna tersebut antara lain α-karoten, β-karoten, xanthopil, klorofil dan antosianin, zat warna itulah yang menjadikan warna minyak berwarna kuning, kuning kecokelatan, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan.
 

2.5 Spektrum infra red (IR) biji kelor
    Analisis menggunakan spektrofotometer IR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada biji kelor sebelum dan sesudah diinteraksikan dengan minyak goreng bekas. Interaksi serbuk biji kelor dengan zat-zat pengotor dalam minyak goreng bekas melibatkan proses adsorpsi dan koagulasi. Berdasarkan spektrum yang dihasilkan, terdapat perbedaan serapan antara serbuk biji kelor sebelum dan sesudah digunakan untuk bleaching minyak goreng bekas. Pada serbuk biji kelor sebelum bleaching  terdapat serapan pada daerah 3298 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus OH yang terikat hidrogen secara intermolekuler, gugus C=O ditunjukkan pada daerah 1743,9 cm-1 yang merupakan keton. Hal yang sama juga terjadi pada serbuk biji kelor setelah diinteraksikan dengan minyak goreng bekas namun mengalami pergeseran menjadi 1740,9 cm-1. Fenomena ini disebabkan adanya proses penyerapan C=O aldehid yang ada pada minyak goreng.
      Serbuk biji kelor setelah digunakan sebagai bleaching memiliki serapan pada daerah 2961,4 cm-1 yang menunjukkan adanya gugus OH asam karboksilat, serapan spesifik pada daerah 1110,5 cm‑1 yang menunjukkan adanya uluran C-O (gugus ester), selain itu terdapat pula serapan spesifik pada daerah 830,2 cm-1 yang merupakan gugus peroksida (O-O). Hal ini didukung oleh Socrates (1994) yang mengatakan bahwa peroksida (O-O) mengalami vibrasi pada daerah 900-830 cm-1.
        Gugus-gugus baru yang muncul seperti ester (C-O) dan peroksida (O-O) pada serbuk biji kelor setelah digunakan sebagai bleaching (Gambar 5b) dapat memperkuat hasil penelitian ini bahwa interaksi antara serbuk biji kelor dengan zat-zat pengotor dalam minyak goreng terjadi proses adsorpsi, namun tidak menutup kemungkinan pada saat bleaching terjadi proses koagulasi. Adanya kesamaan gugus fungsi menjadi parameter untuk menyatakan bahwa sebagian besar proses bleaching yang terjadi pada penelitian ini adalah proses adsorpsi fisika. Adsorpsi tersebut bersifat reversibel dan cepat. Disamping itu, terjadi adsorpsi secara kimia yang berlangsung lambat tapi irreversibel. Adsorpsi secara kimia ini ditunjukkan dengan terbentuknya gugus-gugus baru pada serbuk biji kelor setelah digunakan sebagai bleaching (Gambar 5 b) yaitu gugus ester (C-O) pada bilangan gelombang 110,5 cm-1 dan gugus peroksida (O-O) yang terdapat pada bilangan gelombang 830,2 cm-1.

3. Kesimpulan
     Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa waktu pengadukan dan dosis optimum tercapai pada waktu 45 menit dengan dosis 125 mg/200 g minyak. Persentase penurunan kadar ALB sebesar 74,6 % dan angka peroksida 84,00 %. Warna yang diperoleh semakin cerah dibandingkan dengan minyak goreng bekas sebelum reprosessing. Kadar ALB dan warna yang dihasilkan memenuhi standar nasional Indonesia (SNI) dengan nomor (SNI 3741-1995). Interaksi yang terjadi antara serbuk biji kelor dengan zat-zat pengotor dalam minyak goreng bekas melibatkan proses adsorpsi dan koagulasi.. Penggunaan biji kelor sebagai bleaching telah berhasil memberikan banyak manfaat dalam menurunkan kadar ALB dan peroksida serta mampu mendegradasi warna minyak goreng bekas. Metode ini dapat digunakan dalam skala yang lebih besar.

4.  Ucapan terima kasih

Terima kasih ditujukan kepada Bank Indonesi (BI) dan el-Zawa UIN Malang yang telah membantu membiayai penelitian ini, Laboratorium Kimia UIN Malang dan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya atas fasilitas yang diberikan, A. Ghanaim Fasya, S.Si. dan Akyunul Jannah, S.Si.,M.P. sebagai pembimbing.

5. Daftar Pustaka


Anonymous, 2004, Biji Kelor Penjernih Air, http//www.rri.online.com/modules.Php?name=       Pendidikan &op = info pendidikan detail & id = 37, Diakses tanggal 08 Agustus 2007.
Ketaren, S., 2005,  Pengantar Teknologi Dan Lemak Pangan, Penerbit UI-Press, Jakarta, 174, 69, 113.
Savitri, E.S., Eny, Y., dan Diana, C.D., 2006, Pemanfaatan Biji Kelor Sebagai Bioflokulan Logam Berat Hg, Pb dan Cr, Pada Limbah Cair Industri Keramik Dinoyo Malang, Proposal Penelitian yang diajukan pada LEMLITBANG UIN Malang.
Silalahi, S., 2005, Studi Awal Kualitas Minyak Goreng Kelapa Sawit Pada Penggorengan Berulang Produk Tertentu, http//www. iopri.org/index. php? option=com2005 content&task=section&id=91& Itemid=47, Diakses Tanggal 15 Februari 2007
Socrates, G., 1994, Infra Red Caracteristic Group Frequencies Tables and Charts, Second Edition, Univbersity Of West London.
Sudarmadji, S., Bambang, H., dan Suhardi, 1997, Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Wardhana, P.A, 2005, Studi Perbandingan Tawas Dan Biji Kelor Sebagai Koagulan Pada Air Keruh, Skripsi Teknik Perairan, Universitas Brawijaya, Malang.
Widayat, Suherman dan K.Haryani, 2006, Optimasi Proses Adsorbsi Minyak Goreng Bekas Dengan Adsorbent Zeolit Alam : Studi Pengurangan Bilangan Asam, Jurnal Penelitian Teknik Kimia, Volume 17 No.01 April 2006, Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Winarno, F.G, 2003, Biji Kelor Untuk Bersihkan Air Sungai, Kelompok Kerja AMPL, Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar