BIOSENSOR KONDUKTOMETRI AFLATOXIN B1 BERBASIS ACETYLCHOLINESTERASE
Oleh:
Septi
Fajar Raeni
Program Magister Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
E-mail: raeni.id@gmail.com
Proses
pemanenan dan penyimpanan yang kurang baik dari suatu produk makanan dapat
menyebabkan tumbuhnya bakteri ataupun kapang. Kapang yang disebabkan oleh
proses tersebut adalah Aspergillus flavus,
A. parasiticus dan A. nomius. Infeksi jamur dan produksi
aflatoxin dapat terjadi pada tahap manapun dari pertumbuhan tanaman, pemanenan,
pengeringan, pemrosesan dan penyimpanan. Baik proses infeksi dan akumulasi
aflatoxin sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti serangan serangga,
temperatur dan kelembapan. Keberadaan dari kapang tersebut dapat menyebabkan
kerusakan fisik dan kimiawi dari suatu produk makanan. Kondisi iklim tropis di
Indonesia mendukung terjadinya peluang pencemaran aflatoxin. Kondisi lingkungan
yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin adalah kelembaban minimum 85% dan
suhu optimum 25-27°C (Diener dan Davis, 1969 dalam Rachmawati, 2005).
Aflatoksin
adalah metabolit sekunder yang bersifat toksik dan karsinogenik sangat
berbahaya bagi kesehatan karena zat ini bersifat karsinogenik. Ketika sumber
makanan terkontaminasi oleh aflatoksin,
aflatoxin ini tidak akan
hilang walaupun dipanaskan sampai 200°C. Aflatoksin ini
dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara langsung maupun mengikuti mata rantai
makanan. Ketika kacang yang terkontaminasi menjadi pakan ternak dan ternak itu
dimakan oleh manusia maka aflatoksin ini
akan terakumulasi dalam tubuh manusia, sehingga manusia tetap akan beresiko
untuk terkena kanker hati akibat terpapar oleh aflatoxin. Menurut survei
dari International Agency for Research of Cancer, 1 dari 4 orang yang
terkena kanker hati diakibatkan oleh aflatoksin (IARC, 2002).
Selain
menyerang kesehatan, aflatoksin juga dapat berdampak pada ekonomi dan
ketahanan pangan di negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia merupakan
salah satu negara penghasil sekaligus pengekspor kacang. Ketika kacang
yang telah terkontaminasi oleh aflatoksin tidak dapat terdeteksi, hal ini menyebabkan
memperbanyak jumlah kacang yang akan terkontaminasi sehingga dapat menimbulkan
kerugian yang jauh lebih besar. Hal ini menimbulkan "efek domino",
ketika banyak kacang yang terbuang karena semakin banyak yang terkontaminasi
sehingga permintaan kacang akan naik sedangkan jumlah kacang yang tersedia
tetap. Ini akan menimbulkan kenaikan harga kacang yang akan berimbas kepada
kenaikan harga bahan pangan lainnya. Maka dari itu diperlukan suatu biosensor
aflatoksin untuk mendeteksi
keberadaan aflatoksin dalam produk makanan.
Aflatoxin
merupakan grup yang secara kimia berhubungan dengan mycotoxin, ditemukan pada
kacang tanah, kacang-kacangan lainnya, biji-bijian, rempah-rempah, biji kapas
dan jagung (Eaton dan Groopman, 1994 dalam Carlson, et al., 2000). Struktur
molekul dari empat aflatoxin yang sering muncul, yakni B1, B2, G1 dan G2
ditunjukkan pada Gambar 1, bersamaan dengan dua metabolit hasil samping M1 dan
M2, yang disekresikan dalam susu hewan menyusui yang mengkonsumsi pakan ternak
terkontaminasi aflatoxin (Carlson, et al., 2000).
Gambar
1. Struktur kimia dari aflatoxin yang paling banyak ditemui.
(Carlson,
et al., 2000)
Paparan
dari menelan atau menghirup aflatoxin dapat menyebabkan perkembangan kondisi
medis serius yang bervariasi pada spesies hewan, dosis, diet, usia dan gender.
Efek akut dapat diamati dengan adanya kerusakan struktural dan fungsional hati,
termasuk nekrosis sel hati, pendarahan, lesions, fibrosis dan cirrhosis. Selain
itu ensefalopati hepatik, imunosupresi, infeksi pernafasan bawah, pendarahan
gastrointestinal, anoreksia, malaise dan demam juga telah diamati. Paparan
kronis aflatoksin sering kali menyebabkan kanker hati (Eaton and Groopman, 1994
dalam Carlson, et al, 2000).
Biosensor
merupakan sensor kimia yang sistem pengenalannya didasarkan pada mekanisme biokimia
atau mekanisme biologis. Perangkat ini telah dikembangkan dan digunakan sebagai
elemen pengenalan dengan menggunakan material sintetis, maupun bahan biomimetic
sebagai material asal biologis (Banica, 2012).
Diagnosa
pasar terfokus pada sektor perawatan kesehatan untuk diagnose dan monitoring
kondisi medis. Oleh karenanya, banyak pengembangan dalam riset biosensor
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan seperti miniaturisasi untuk
mengurangi volume sampel dan integrasi untuk meminimalisir sejumlah tahap
perlakuan seperti pre-treatment sampel (Ahmed, et al, 2014 dalam Warrinet, et
al., 2014).
Skema
biosensor yang paling umum terdiri atas 3 bagian (Mosiello dan Lamberti, 2011):
- Elemen
sensitif biologis atau material biologis (misal jaringan, mikroorganisme,
organel, sel reseptor, enzim, antibodi, asam nukleat, dll)
- Transducer
atau Elemen Detektor (bekerja dalam keadaan fisikokimia; optis, pizoelectric,
elektrokimia, dll) mengubah elemen menjadi sinyal lain (misal transducer) yang
dapat lebih mudah diukur dan dikuantifikasi
- Perangkat
elektronik atau prosesor sinyal yang paling bertanggung jawab untuk tampilan
dari hasil yang bersahabat penggunaannya
Transducer
konduktometri yang terdiri atas 2 pasang elektrode thin film interdigitated
(ketebalan 150 nm), dibuat dengan deposisi uap emas diatas suatu substrat
non-conducting pyroceramic (5 mm x 30 mm). Lapisan intermediet Cr (ketebalan 50 nm)
digunakan untuk meningkatkan adhesi Au terhadap substrat. Lebar digit dan jarak
interdigital adalah 10 µm dan panjang ~1.5 mm. Sehingga, area sensitif dari tiap pasang elektroda seluas ~2.9 mm2.
Pasangan elektroda pertama, dilapisi dengan membran non reaktif BSA yang
berperan sebagai sensor reference. Pasangan elektroda kedua, dilapisi dengan
membran enzimatis yang digunakan sebagai sensor kerja.
Gambar
2. Gambaran transducer konduktometri dan SEM dari elektroda interdigitated emas.
(Stepurska et al, 2015)
Pengoperasian
dari elemen bioselektif sensitif-aflatoksin dilakukan dengan reaksi enzimatis
dalam membran yang terdeposisi acetylcholinesterase keatas permukaan
transducer:
Pada reaksi enzimatis,
acetylcholinesterase mendekomposisi acetylcholine menjadi choline dan asam
asetat. Asam asetat terdisosiasi, dapat meningkatkan konsentrasi ion dalam
membran kerja. Hal ini menyebabkan perubahan konduktivitas dalam larutan,
dimana digunakan suatu transducer konduktometri untuk mengukur perubahan yang
terjadi.
Biosensor
konduktometri untuk penentuan aflatoksin telah dikembangkan, sebagai elemen
bioselektif menggunakan acetylcholinesterase yang diamobilkan di atas permukaan
dari transducer konduktometri. Acetylcholine digunakan sebagai substrat untuk
analisis aflatoxin inhibitory, konsentrasi optimum yang didapatkan dari penelitian
Stepurska et al (2015) sebesar 1 mM dengan limit deteksi minimum dari
aflatoksin B1 sebesar 0.1 µg/mL.
Referensi
Ahmed,
M. U., Saaem, I., Wu, P. C., dan Brown, A. S. 2014. Personalized diagnostics
and biosensors: a review of the biology and technology needed for personalized
medicine. Critical Reviews in Biotechnology, 34(2), 180-196 dalam Warriner, K.,
Reddy, S. M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in
nanoparticles for use in biosensors to asses food safety and quality. Trends in
Food Science & Technology, 40, 183-199.
Banica,
Florinel-Gabriel. 2012. Chemical Sensors and Biosensor: Fundamentals and
Applications. John Wiley & Sons, Ltd
Carlson,
M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser, A. B., Phillips, T. E., Velky,
J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko, H. W. 2000. An Automated, handled
biosensor for aflatoxin. Biosensor and Bioelectronics. 14, 841-848.
Diener,
U.L dan Davis, N. 1969. Aflatoxin formation by aspergillus flavus. In :
Aflatoxins . GOLDBLATT L .A. (Ed.). Academic Press, pp. 77-105 dalam Rachmawati,
S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan
pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Eaton,
D.L., Groopman J.D. (Eds.), 1994. The Toxicology of Aflatoxins. Academic Press,
New York, 521–523 dalam Carlson, M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser,
A. B., Phillips, T. E., Velky, J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko,
H. W., 2000, An Automated, handled biosensor for aflatoxin, Biosensor and
Bioelectronics, 14, 841-848.
Mosiello,
L. Dan Lamberti, I., 2011. Biosensors for Aflatoxins Detection, Measurement and
Control. Dr Irineo Torres-Pacheco (Ed.), ISBN: 978-953-307-711-6.
Rachmawati,
S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan
pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Stepurska,
K.V., Soldatkin, I.S. Kucherenko, V.M. Arkhypova, S.V. Dzyadevych, A.P.
Soldatkin, 2015. Feasibility of application of conductometric biosensor based
on acetylcholinesterase for the inhibitory analysis of toxic compounds of
different nature. Analytica Chimica Acta. 854, 161–168.
Warriner, K., Reddy, S.
M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in nanoparticles for use
in biosensors to asses food safety and quality. Trends in Food Science &
Technology, 40, 183-199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar