Minggu, 14 Juni 2015

Biosensor Konduktometri Aflatoxin B1 berbasis Acetylcholinesterase


BIOSENSOR KONDUKTOMETRI AFLATOXIN B1 BERBASIS ACETYLCHOLINESTERASE

Oleh:
Septi Fajar Raeni

Program Magister Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
E-mail: raeni.id@gmail.com

Proses pemanenan dan penyimpanan yang kurang baik dari suatu produk makanan dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri ataupun kapang. Kapang yang disebabkan oleh proses tersebut adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius. Infeksi jamur dan produksi aflatoxin dapat terjadi pada tahap manapun dari pertumbuhan tanaman, pemanenan, pengeringan, pemrosesan dan penyimpanan. Baik proses infeksi dan akumulasi aflatoxin sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti serangan serangga, temperatur dan kelembapan. Keberadaan dari kapang tersebut dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi dari suatu produk makanan. Kondisi iklim tropis di Indonesia mendukung terjadinya peluang pencemaran aflatoxin. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin adalah kelembaban minimum 85% dan suhu optimum 25-27°C (Diener dan Davis, 1969 dalam Rachmawati, 2005).
Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang bersifat toksik dan karsinogenik sangat berbahaya bagi kesehatan karena zat ini bersifat karsinogenik. Ketika sumber makanan terkontaminasi oleh aflatoksin, aflatoxin ini tidak akan hilang walaupun dipanaskan sampai 200°C. Aflatoksin ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara langsung maupun mengikuti mata rantai makanan. Ketika kacang yang terkontaminasi menjadi pakan ternak dan ternak itu dimakan oleh manusia maka aflatoksin ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia, sehingga manusia tetap akan beresiko untuk terkena kanker hati akibat terpapar oleh aflatoxin. Menurut  survei dari International Agency for Research of Cancer, 1 dari 4 orang yang terkena kanker hati diakibatkan oleh aflatoksin  (IARC, 2002).
Selain menyerang kesehatan, aflatoksin juga dapat berdampak pada ekonomi dan ketahanan pangan di negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara  penghasil sekaligus pengekspor kacang. Ketika kacang yang telah terkontaminasi oleh aflatoksin tidak dapat terdeteksi, hal ini menyebabkan memperbanyak jumlah kacang yang akan terkontaminasi sehingga dapat menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar. Hal ini menimbulkan "efek domino", ketika banyak kacang yang terbuang karena semakin banyak yang terkontaminasi sehingga permintaan kacang akan naik sedangkan jumlah kacang yang tersedia tetap. Ini akan menimbulkan kenaikan harga kacang yang akan berimbas kepada kenaikan harga bahan pangan lainnya. Maka dari itu diperlukan suatu biosensor aflatoksin untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin dalam produk makanan.
Aflatoxin merupakan grup yang secara kimia berhubungan dengan mycotoxin, ditemukan pada kacang tanah, kacang-kacangan lainnya, biji-bijian, rempah-rempah, biji kapas dan jagung (Eaton dan Groopman, 1994 dalam Carlson, et al., 2000). Struktur molekul dari empat aflatoxin yang sering muncul, yakni B1, B2, G1 dan G2 ditunjukkan pada Gambar 1, bersamaan dengan dua metabolit hasil samping M1 dan M2, yang disekresikan dalam susu hewan menyusui yang mengkonsumsi pakan ternak terkontaminasi aflatoxin (Carlson, et al., 2000).

Gambar 1. Struktur kimia dari aflatoxin yang paling banyak ditemui.
(Carlson, et al., 2000)

Paparan dari menelan atau menghirup aflatoxin dapat menyebabkan perkembangan kondisi medis serius yang bervariasi pada spesies hewan, dosis, diet, usia dan gender. Efek akut dapat diamati dengan adanya kerusakan struktural dan fungsional hati, termasuk nekrosis sel hati, pendarahan, lesions, fibrosis dan cirrhosis. Selain itu ensefalopati hepatik, imunosupresi, infeksi pernafasan bawah, pendarahan gastrointestinal, anoreksia, malaise dan demam juga telah diamati. Paparan kronis aflatoksin sering kali menyebabkan kanker hati (Eaton and Groopman, 1994 dalam Carlson, et al, 2000).
Biosensor merupakan sensor kimia yang sistem pengenalannya didasarkan pada mekanisme biokimia atau mekanisme biologis. Perangkat ini telah dikembangkan dan digunakan sebagai elemen pengenalan dengan menggunakan material sintetis, maupun bahan biomimetic sebagai material asal biologis (Banica, 2012).
Diagnosa pasar terfokus pada sektor perawatan kesehatan untuk diagnose dan monitoring kondisi medis. Oleh karenanya, banyak pengembangan dalam riset biosensor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan seperti miniaturisasi untuk mengurangi volume sampel dan integrasi untuk meminimalisir sejumlah tahap perlakuan seperti pre-treatment sampel (Ahmed, et al, 2014 dalam Warrinet, et al., 2014).
Skema biosensor yang paling umum terdiri atas 3 bagian (Mosiello dan Lamberti, 2011):
-  Elemen sensitif biologis atau material biologis (misal jaringan, mikroorganisme, organel, sel reseptor, enzim, antibodi, asam nukleat, dll)
-  Transducer atau Elemen Detektor (bekerja dalam keadaan fisikokimia; optis, pizoelectric, elektrokimia, dll) mengubah elemen menjadi sinyal lain (misal transducer) yang dapat lebih mudah diukur dan dikuantifikasi
-  Perangkat elektronik atau prosesor sinyal yang paling bertanggung jawab untuk tampilan dari hasil yang bersahabat penggunaannya

Transducer konduktometri yang terdiri atas 2 pasang elektrode thin film interdigitated (ketebalan 150 nm), dibuat dengan deposisi uap emas diatas suatu substrat non-conducting pyroceramic (5 mm x 30 mm).  Lapisan intermediet Cr (ketebalan 50 nm) digunakan untuk meningkatkan adhesi Au terhadap substrat. Lebar digit dan jarak interdigital adalah 10 µm dan panjang ~1.5 mm. Sehingga, area sensitif  dari tiap pasang elektroda seluas ~2.9 mm2. Pasangan elektroda pertama, dilapisi dengan membran non reaktif BSA yang berperan sebagai sensor reference. Pasangan elektroda kedua, dilapisi dengan membran enzimatis yang digunakan sebagai sensor kerja. 


Gambar 2. Gambaran transducer konduktometri dan SEM dari elektroda interdigitated emas. (Stepurska et al, 2015)

Pengoperasian dari elemen bioselektif sensitif-aflatoksin dilakukan dengan reaksi enzimatis dalam membran yang terdeposisi acetylcholinesterase keatas permukaan transducer:


Pada reaksi enzimatis, acetylcholinesterase mendekomposisi acetylcholine menjadi choline dan asam asetat. Asam asetat terdisosiasi, dapat meningkatkan konsentrasi ion dalam membran kerja. Hal ini menyebabkan perubahan konduktivitas dalam larutan, dimana digunakan suatu transducer konduktometri untuk mengukur perubahan yang terjadi.
Biosensor konduktometri untuk penentuan aflatoksin telah dikembangkan, sebagai elemen bioselektif menggunakan acetylcholinesterase yang diamobilkan di atas permukaan dari transducer konduktometri. Acetylcholine digunakan sebagai substrat untuk analisis aflatoxin inhibitory, konsentrasi optimum yang didapatkan dari penelitian Stepurska et al (2015) sebesar 1 mM dengan limit deteksi minimum dari aflatoksin B1 sebesar 0.1 µg/mL.


Referensi

Ahmed, M. U., Saaem, I., Wu, P. C., dan Brown, A. S. 2014. Personalized diagnostics and biosensors: a review of the biology and technology needed for personalized medicine. Critical Reviews in Biotechnology, 34(2), 180-196 dalam Warriner, K., Reddy, S. M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in nanoparticles for use in biosensors to asses food safety and quality. Trends in Food Science & Technology, 40, 183-199.
Banica, Florinel-Gabriel. 2012. Chemical Sensors and Biosensor: Fundamentals and Applications. John Wiley & Sons, Ltd
Carlson, M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser, A. B., Phillips, T. E., Velky, J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko, H. W. 2000. An Automated, handled biosensor for aflatoxin. Biosensor and Bioelectronics. 14, 841-848.
Diener, U.L dan Davis, N. 1969. Aflatoxin formation by aspergillus flavus. In : Aflatoxins . GOLDBLATT L .A. (Ed.). Academic Press, pp. 77-105 dalam Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Eaton, D.L., Groopman J.D. (Eds.), 1994. The Toxicology of Aflatoxins. Academic Press, New York, 521–523 dalam Carlson, M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser, A. B., Phillips, T. E., Velky, J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko, H. W., 2000, An Automated, handled biosensor for aflatoxin, Biosensor and Bioelectronics, 14, 841-848.
Mosiello, L. Dan Lamberti, I., 2011. Biosensors for Aflatoxins Detection, Measurement and Control. Dr Irineo Torres-Pacheco (Ed.), ISBN: 978-953-307-711-6.
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Stepurska, K.V., Soldatkin, I.S. Kucherenko, V.M. Arkhypova, S.V. Dzyadevych, A.P. Soldatkin, 2015. Feasibility of application of conductometric biosensor based on acetylcholinesterase for the inhibitory analysis of toxic compounds of different nature. Analytica Chimica Acta. 854, 161–168.
Warriner, K., Reddy, S. M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in nanoparticles for use in biosensors to asses food safety and quality. Trends in Food Science & Technology, 40, 183-199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar