Minggu, 14 Juni 2015

SENYAWA ANTIBAKTERI PADA MIKROALGA Chlorella  sp.
By:Kiswanti surya utami

            Senyawa yang khusus untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri disebut senyawa antibakteri. Antibakteri dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami. Antibakteri sintetik dapat dihasilkan dengan membuat suatu senyawa yang sifatnya mirip dengan aslinya yang dibuat secara besar-besaran, sedangkan yang alami didapatkan langsung dari organisme maupun dari tumbuhan yang menghasilkan senyawa tersebut dengan melakukan proses pengekstrakan. Senyawa antibakteri yang bersifat membunuh bakteri disebut bakterisidal, sedangkan senyawa bakteri yang bersifat menghambat bakteri disebut bakteristatik (Brock dan Madigan, 1991). Kriteria zat ideal yang digunakan sebagai zat antibakteri adalah aktivitasnya yang luas, tidak bersifat racun, ekonomis, sebaiknya bersifat membunuh daripada hanya menghambat pertumbuhan bakteri (Pelczar dan Chan, 1986).
            Saat ini  lebih banyak dilakukan penggalian antibakteri alami, salah satunya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang memiliki senyawa antibakteri adalah mikroalga jenis Chlorella sp. yang memiliki tubuh seperti bola dan berwarna hijau. Menurut Setyaningsih, dkk. (2005) antibakteri yang dihasilkan oleh Chlorella sp. merupakan antibakteri alami yang mempunyai kelebihan yaitu lebih aman penggunannya. Khamidah (2013) melakukan penelitian tentang uji aktivitas antibakteri ekstrak metanol mikroalga Chlorella sp. dihasilkan zona hambat tertinggi terhadap bakteri E. coli (9.9 mm) dan S. aureus  (12 mm) diperoleh pada fase stasioner. Utami (2014) uji aktivitas antibakteri fraksi etil asetat, kloroform, petroleum eter, dan n-heksana hasil hidrolisis ekstrak metanol mikroalga Chlorella sp. dihasilkan zona hambat tertinggi untuk bakteri S. aureus  sebesar 10 mm pada fraksi petroleum eter.
Golongan senyawa antibakteri yang terdapat dalam mikroalga Chlorella sp. antara lain: steroid dan tanin. Khamidah (2013) hasil uji fitokimia ekstrak metanol mikroalga Chlorella sp. adalah golongan senyawa steroid dan tanin. Menurut Morin dan Gorman (1995) senyawa steroid memiliki struktur lipofilik yaitu senyawa yang larut dalam lemak. Steroid dapat berinteraksi dengan membran fosfolipid sel bakteri yang bersifat permeabel terhadap senyawa-senyawa lipofilik sehingga menyebabkan integritas membran menurun, morfologi membran berubah, dan akhirnya dapat menyebabkan membran sel bakteri rapuh dan lisis. Akibat lisis dari membran sel, senyawa yang terdapat dalam sitoplasma (seperti: inti sel, mesosom, protein dan lain-lain) akan keluar sehingga mengakibatkan kematian bakteri.
Mekanisme tanin sebagai antibakteri menurut Naim (2004) berhubungan dengan kemampuan tanin dalam menginaktifkan adhesin sel (molekul yang menempel pada sel inang) bakteri yang terdapat pada permukaan sel. Tanin memiliki target pada polipeptida dinding sel sehingga akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel. Hal ini akan menyebabkan sel bakteri menjadi lisis, sehingga sel bakteri akan mati. Gilman, dkk. (1991) pada proses perusakan membran sel, ion H+ dari senyawa fenol dan turunannya termasuk tanin akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat, dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk dari membran sel, sehingga membran akan bocor dan bakteri akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan bahkan kematian.

Daftar pustaka
Brock dan Madigan. 1991. Biology of Microorganism Fifth Edition. Prentice Hall   International.
Gilman, A.G, T. Rall, A. Nies dan P. Taylor. 1991. The Pharmalogical Basic of the            Raupetics.
Khamidah, U. 2013. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Mikroalga Chlorella sp.    Hasil Kultivasi dalam Medium Ekstrak Tauge Terhadap Escherichia coli dan          Staphylococcus aureus. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik        Ibrahim Malang.
Morin, R.B. dan Gorman, M. 1995. Kimia dan Biologi Antibiotik β-lactam (Chemistry      and Biologi β-lactam Antibiotics) Edisi III. Semarang: IKIP Semarang Press.
Naim, R. 2004. Senyawa Antimikroba dari Tanaman (online).        http://www.kompas.com/kompas-cetak/04/09/15/sorotan/1265264.htm
Pelczar dan Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi, Alih Bahasa: Hadioetomo, R.S.         Jakarta: UI Press.
Setyaningsih, I.; Desniar dan Sriwardani, T. 2005. Konsentrasi hambatan Minimum          Ekstrak Chlorella sp. Terhadap Bakteri dan Kapang. Buletin Teknologi Hasil             Perikanan. Volume VIII, Nomor 1: 25-34.

Utami, K.U. 2014. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi Etil Asetat, Klorofom, Petroleum       Eter, dan n-Heksana Hasil Hidrolisis Ekstrak Metanol Mikroalga Chlorella sp.            Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Biosensor Konduktometri Aflatoxin B1 berbasis Acetylcholinesterase


BIOSENSOR KONDUKTOMETRI AFLATOXIN B1 BERBASIS ACETYLCHOLINESTERASE

Oleh:
Septi Fajar Raeni

Program Magister Ilmu Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Brawijaya
E-mail: raeni.id@gmail.com

Proses pemanenan dan penyimpanan yang kurang baik dari suatu produk makanan dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri ataupun kapang. Kapang yang disebabkan oleh proses tersebut adalah Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius. Infeksi jamur dan produksi aflatoxin dapat terjadi pada tahap manapun dari pertumbuhan tanaman, pemanenan, pengeringan, pemrosesan dan penyimpanan. Baik proses infeksi dan akumulasi aflatoxin sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti serangan serangga, temperatur dan kelembapan. Keberadaan dari kapang tersebut dapat menyebabkan kerusakan fisik dan kimiawi dari suatu produk makanan. Kondisi iklim tropis di Indonesia mendukung terjadinya peluang pencemaran aflatoxin. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin adalah kelembaban minimum 85% dan suhu optimum 25-27°C (Diener dan Davis, 1969 dalam Rachmawati, 2005).
Aflatoksin adalah metabolit sekunder yang bersifat toksik dan karsinogenik sangat berbahaya bagi kesehatan karena zat ini bersifat karsinogenik. Ketika sumber makanan terkontaminasi oleh aflatoksin, aflatoxin ini tidak akan hilang walaupun dipanaskan sampai 200°C. Aflatoksin ini dapat masuk ke dalam tubuh manusia secara langsung maupun mengikuti mata rantai makanan. Ketika kacang yang terkontaminasi menjadi pakan ternak dan ternak itu dimakan oleh manusia maka aflatoksin ini akan terakumulasi dalam tubuh manusia, sehingga manusia tetap akan beresiko untuk terkena kanker hati akibat terpapar oleh aflatoxin. Menurut  survei dari International Agency for Research of Cancer, 1 dari 4 orang yang terkena kanker hati diakibatkan oleh aflatoksin  (IARC, 2002).
Selain menyerang kesehatan, aflatoksin juga dapat berdampak pada ekonomi dan ketahanan pangan di negara berkembang, seperti Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara  penghasil sekaligus pengekspor kacang. Ketika kacang yang telah terkontaminasi oleh aflatoksin tidak dapat terdeteksi, hal ini menyebabkan memperbanyak jumlah kacang yang akan terkontaminasi sehingga dapat menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar. Hal ini menimbulkan "efek domino", ketika banyak kacang yang terbuang karena semakin banyak yang terkontaminasi sehingga permintaan kacang akan naik sedangkan jumlah kacang yang tersedia tetap. Ini akan menimbulkan kenaikan harga kacang yang akan berimbas kepada kenaikan harga bahan pangan lainnya. Maka dari itu diperlukan suatu biosensor aflatoksin untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin dalam produk makanan.
Aflatoxin merupakan grup yang secara kimia berhubungan dengan mycotoxin, ditemukan pada kacang tanah, kacang-kacangan lainnya, biji-bijian, rempah-rempah, biji kapas dan jagung (Eaton dan Groopman, 1994 dalam Carlson, et al., 2000). Struktur molekul dari empat aflatoxin yang sering muncul, yakni B1, B2, G1 dan G2 ditunjukkan pada Gambar 1, bersamaan dengan dua metabolit hasil samping M1 dan M2, yang disekresikan dalam susu hewan menyusui yang mengkonsumsi pakan ternak terkontaminasi aflatoxin (Carlson, et al., 2000).

Gambar 1. Struktur kimia dari aflatoxin yang paling banyak ditemui.
(Carlson, et al., 2000)

Paparan dari menelan atau menghirup aflatoxin dapat menyebabkan perkembangan kondisi medis serius yang bervariasi pada spesies hewan, dosis, diet, usia dan gender. Efek akut dapat diamati dengan adanya kerusakan struktural dan fungsional hati, termasuk nekrosis sel hati, pendarahan, lesions, fibrosis dan cirrhosis. Selain itu ensefalopati hepatik, imunosupresi, infeksi pernafasan bawah, pendarahan gastrointestinal, anoreksia, malaise dan demam juga telah diamati. Paparan kronis aflatoksin sering kali menyebabkan kanker hati (Eaton and Groopman, 1994 dalam Carlson, et al, 2000).
Biosensor merupakan sensor kimia yang sistem pengenalannya didasarkan pada mekanisme biokimia atau mekanisme biologis. Perangkat ini telah dikembangkan dan digunakan sebagai elemen pengenalan dengan menggunakan material sintetis, maupun bahan biomimetic sebagai material asal biologis (Banica, 2012).
Diagnosa pasar terfokus pada sektor perawatan kesehatan untuk diagnose dan monitoring kondisi medis. Oleh karenanya, banyak pengembangan dalam riset biosensor dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sektor kesehatan seperti miniaturisasi untuk mengurangi volume sampel dan integrasi untuk meminimalisir sejumlah tahap perlakuan seperti pre-treatment sampel (Ahmed, et al, 2014 dalam Warrinet, et al., 2014).
Skema biosensor yang paling umum terdiri atas 3 bagian (Mosiello dan Lamberti, 2011):
-  Elemen sensitif biologis atau material biologis (misal jaringan, mikroorganisme, organel, sel reseptor, enzim, antibodi, asam nukleat, dll)
-  Transducer atau Elemen Detektor (bekerja dalam keadaan fisikokimia; optis, pizoelectric, elektrokimia, dll) mengubah elemen menjadi sinyal lain (misal transducer) yang dapat lebih mudah diukur dan dikuantifikasi
-  Perangkat elektronik atau prosesor sinyal yang paling bertanggung jawab untuk tampilan dari hasil yang bersahabat penggunaannya

Transducer konduktometri yang terdiri atas 2 pasang elektrode thin film interdigitated (ketebalan 150 nm), dibuat dengan deposisi uap emas diatas suatu substrat non-conducting pyroceramic (5 mm x 30 mm).  Lapisan intermediet Cr (ketebalan 50 nm) digunakan untuk meningkatkan adhesi Au terhadap substrat. Lebar digit dan jarak interdigital adalah 10 µm dan panjang ~1.5 mm. Sehingga, area sensitif  dari tiap pasang elektroda seluas ~2.9 mm2. Pasangan elektroda pertama, dilapisi dengan membran non reaktif BSA yang berperan sebagai sensor reference. Pasangan elektroda kedua, dilapisi dengan membran enzimatis yang digunakan sebagai sensor kerja. 


Gambar 2. Gambaran transducer konduktometri dan SEM dari elektroda interdigitated emas. (Stepurska et al, 2015)

Pengoperasian dari elemen bioselektif sensitif-aflatoksin dilakukan dengan reaksi enzimatis dalam membran yang terdeposisi acetylcholinesterase keatas permukaan transducer:


Pada reaksi enzimatis, acetylcholinesterase mendekomposisi acetylcholine menjadi choline dan asam asetat. Asam asetat terdisosiasi, dapat meningkatkan konsentrasi ion dalam membran kerja. Hal ini menyebabkan perubahan konduktivitas dalam larutan, dimana digunakan suatu transducer konduktometri untuk mengukur perubahan yang terjadi.
Biosensor konduktometri untuk penentuan aflatoksin telah dikembangkan, sebagai elemen bioselektif menggunakan acetylcholinesterase yang diamobilkan di atas permukaan dari transducer konduktometri. Acetylcholine digunakan sebagai substrat untuk analisis aflatoxin inhibitory, konsentrasi optimum yang didapatkan dari penelitian Stepurska et al (2015) sebesar 1 mM dengan limit deteksi minimum dari aflatoksin B1 sebesar 0.1 µg/mL.


Referensi

Ahmed, M. U., Saaem, I., Wu, P. C., dan Brown, A. S. 2014. Personalized diagnostics and biosensors: a review of the biology and technology needed for personalized medicine. Critical Reviews in Biotechnology, 34(2), 180-196 dalam Warriner, K., Reddy, S. M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in nanoparticles for use in biosensors to asses food safety and quality. Trends in Food Science & Technology, 40, 183-199.
Banica, Florinel-Gabriel. 2012. Chemical Sensors and Biosensor: Fundamentals and Applications. John Wiley & Sons, Ltd
Carlson, M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser, A. B., Phillips, T. E., Velky, J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko, H. W. 2000. An Automated, handled biosensor for aflatoxin. Biosensor and Bioelectronics. 14, 841-848.
Diener, U.L dan Davis, N. 1969. Aflatoxin formation by aspergillus flavus. In : Aflatoxins . GOLDBLATT L .A. (Ed.). Academic Press, pp. 77-105 dalam Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Eaton, D.L., Groopman J.D. (Eds.), 1994. The Toxicology of Aflatoxins. Academic Press, New York, 521–523 dalam Carlson, M. A., Bargeron, C. B., Benson, R. C., Fraser, A. B., Phillips, T. E., Velky, J. T., Groopman, J. D., Strickland, P. T and Ko, H. W., 2000, An Automated, handled biosensor for aflatoxin, Biosensor and Bioelectronics, 14, 841-848.
Mosiello, L. Dan Lamberti, I., 2011. Biosensors for Aflatoxins Detection, Measurement and Control. Dr Irineo Torres-Pacheco (Ed.), ISBN: 978-953-307-711-6.
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin dalam pakan ternak di Indonesia: persyaratan kadar dan pengembangan teknik deteksi-nya. Wartazoa. Vol. 15, No 1.
Stepurska, K.V., Soldatkin, I.S. Kucherenko, V.M. Arkhypova, S.V. Dzyadevych, A.P. Soldatkin, 2015. Feasibility of application of conductometric biosensor based on acetylcholinesterase for the inhibitory analysis of toxic compounds of different nature. Analytica Chimica Acta. 854, 161–168.
Warriner, K., Reddy, S. M., Namyar, A. dan Neethrirajan, S. 2014. Developments in nanoparticles for use in biosensors to asses food safety and quality. Trends in Food Science & Technology, 40, 183-199.

DESAIN “SEAWEED-Au-NPs-enFET-BIOSENSOR” UNTUK DETEKSI KANKER PAYUDARA

Oleh Ika Wuri Mahdiasanti (146090200111012)
Jurusan Kimia FMIPA UB

LATAR BELAKANG
Kanker merupakan penyakit berbahaya yang sedang dihadapi oleh manusia saat ini. Kasus penyakit tersebut banyak menelan korban bahkan mengakibatkan kematian [1]. Salah satu jenis kanker yang paling umum adalah kanker payudara, kanker ini banyak diderita oleh kaum perempuan. Kanker payudara terjadi pada jaringan payudara. Terdapat beberapa jenis sel kanker yang dapat terkultur pada kanker payudara, yaitu sel MCF-7, sel T-47D, sel MDA-MB-231, sel MB-MDA-468, sel BT-20 dan sel BT-549 [2]. Sel kanker tersebut dapat melepaskan H2O2 [3].Biosensor adalah salah satu teknologi alat yang digunakan sebagai sensor untuk deteksi biomolekul atau senyawa-senyawa yang berkaitan dengan aktivitas biologi dan organisme hidup. Teknologi biosensor ini memiliki aplikasi yang luas mencakup bidang medis. Biosensor pada bidang medis berbasis prinsip elektrokimia yaitu dengan menggunakan field effect transistor (FET) biosensor. Pada saat ini, FET biosensor telah mampu dikembangkan menjadi teknologi sensor yang sangat sensitif sekaligus selektif. Sensitif dalam arti mampu mendeteksi adanya senyawa penanda (biomarker) dalam jumlah atau konsentrasi yang sangat kecil [1].
Oleh karena itu, penelitian berfokus pada pengembangan biosensor yang mampu mendeteksi secara dini adanya penyakit kanker, sebelum berkembang atau tumbuh menjadi penyakit yang lebih ganas dan akut, melalui deteksi H2O2[3].

KONSEP PEMIKIRAN
Biosensor enFET dikembangkan untuk deteksi kanker payudara. enFET terdiri atas p-type silika (p-substrat); n-type silika (n-substrat); FET source; FET drain; dan FET gate. FET gate berupa enzim HRP diamobilisasikan pada membran rumput laut yang sudah di impregnasi dengan Au nanopartikel. Enzim HRP spesifik terhadap H2O2 [3]. Membran rumput laut merupakan membran seluloasetat [4], dipilih sebagai material support karena beberapa karakter sebagai berikut: memiliki mikropori; kapasitas transfer elektron sangat baik; biocompatible; stabil; murah; dan ramah lingkungan. Impregnasi Au nanopartikel bertujuan untuk memperluas area kontak enzim-substrat; meningkatkan sensitivitas; dan menurunkan limit deteksi [5]. Interaksi enzim HRP dan H2O2 membuat H2O2 teroksidasi menjadi O2 dan H2O. Pada saat cairan yang dianalisa memiliki konsentrasi O2 tertentu, maka elektron pada permukaan semikonduktor akan membentuk jalan konduksi antara FET source dan FET drain, “konduktansi” inilah yang dapat diukur.

DESAIN enFET BIOSENSOR

CARA PEMBUATAN MEMBRAN
Rumput laut Eucheuma Spinosum ditimbang hingga 250 g. Kemudian dicampurkan dengan NaOH dengan konsentrasi 40%. Proses ekstraksi dilakukan pada temperatur 100°C selama 3 jam. Setelah itu, dilakukan penyaringan dan residu yang didapat dicuci dengan air hingga diperoleh pH 11. Residu yang telah didapat dari proses sebelumnya, ditambahkan dengan hidrogen peroksida dengan konsentrasi 6% selama 3 jam pada suhu kamar sambil diaduk sesekali. Setelah 3 jam, dilakukan penyaringan lalu diambil residunya. Residu yang diperoleh kemudian dicuci dengan air hingga diperoleh pH 7. Residu yang telah diperoleh dari proses bleaching kemudian dijemur di bawah sinar matahari untuk menghilangkan kadar air dalam residu lalu di oven dengan temperatur 105°C hingga berat konstan. Setelah diperoleh residu yang telah dikeringkan kemudian dilakukan proses penggilingan.
Selulosa yang telah dikeringkan ditimbang sebanyak 3 gram kemudian dimasukkan kedalam gelas beker lalu ditambahkan asam asetat glasial sebanyak 150 ml lalu diaduk selama 20 menit pada suhu 40°C untuk mengaktivasi serat pulp. Kemudian campuran larutan 0,15 ml asam sulfat pekat dan 20 ml asam asetat glacial dimasukkan ke dalam campuran pertama tetes demi tetes menggunakan pipet tetes dan diaduk kontinyu selama 2 jam pada suhu 50°C, lalu didinginkan sampai suhu kamar. Campuran kemudian diasetilasi dengan asetat anhidrid sebanyak 20 ml diaduk selama 6 jam lagi pada suhu 50°C dan dilanjutkan dengan pengadukkan selama 12 jam pada suhu kamar. Hasil reaksi kemudian disaring, residu yang tidak larut dicuci berulangkali dengan aquades [4].

Pembuatan larutan cetak membran cellulose acetat residu rumput laut Eucheuma spinosum terdiri dari beberapa tahap berikut [4]:
a. Timbang sejumlah massa cellulose acetat residu rumput laut yang dibutuhkan
b. Membuat dope cellulose acetat dengan mencampur cellulose acetat residu rumput laut dan aseton di dalam Water Batch dengan kecepatan berskala 5 pada temperatur 100°C selama 24 jam. Penambahan cellulose acetat dilakukan secara sedikit demi sedikit.
c. Dope yang telah dibuat diaduk bersama Au NPs selama 24 jam kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin dan didiamkan selama satu hari.

Proses pencetakan membran sebagai berikut [4]:
a. Dope dituang ke dalam pelat kaca yang telah diberi selotip pada ujungnya dengan ketebalan yang seragam.
b. Selanjutnya dilakukan casting di atas pelat kaca sehingga diperoleh lapisan tipis.
c. Lapisan tipis yang terbentuk didiamkan pada suhu ruang selama 30 menit untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh membran cellulose acetat.
d. Membran yang dihasilkan disimpan dalam desikator selama 1 hari sebelum membran dikarakterisasi.

REFERENSI
[1] Mengenal FET Biosensor untuk Aplikasi Deteksi Dini Penyakit dalam Darah. http://www.istecs.org/2013/10/24/mengenalfet-biosensor-untuk-aplikasi-deteksi-dinipenyakit-dalam-darah/
[2] Kanker Payudara. http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker_payudara
[3] Jing Zhao, YalinYan, LiZhu, XiaoxiLi, GenxiLi , An Amperometric Biosensor for Detection of Hydrogen Peroxide Released from Human Breast Cancer Cells, Biosensor and Bioelectronics 41 (2013) 815-819.
[4] Mutiara Dzikro, Yuli Darni, dan Lia Lismeri, Cellulose Acetate Membrane Synthesis of Residual Seaweed Eucheuma spinosum, Seminar Nasional sains & Teknologi iV Lembaga Penelitian Universitas Lampung (2013).
[5] Ricardo J.B. Pinto, Marcia C.Neves, Carlos Pascoal Neto and Tito Trindade, Composite of Cellulose and Metal nanoparticles, http://dx.doi.org/10.5772/50553


Masker untuk Kulit Berminyak dan kulit kering serta Noda Gelap pada Wajah Dengan Minyak Atsiri Lemon Dan Jeruk manis

Masker untuk Kulit Berminyak dan kulit kering serta Noda Gelap pada Wajah Dengan Minyak Atsiri Lemon Dan Jeruk manis
Disusun Oleh :
Udrika Lailatul Qodri

Indonesia mempunyai sumber daya alam hayati yang sangat banyak dan beragam yang sampai saat ini masih belum bisadimanfaatkan secara optimal. Diantara keanekaragaman hayati itu terdapat tanaman penghasil minyak atsiri yang sampai sekarang belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. Indonesia menghasilkan 40–50 jenis tanaman penghasil minyak atsiri dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di dunia dan baru sebagian dari jenis minyak atsiri tersebut yang memasuki pasar dunia, diantaranya nilam, sereh wangi, gaharu, cengkeh, melati, kenanga, kayu putih, cendana, dan akar wangi. Meskipun Indonesia merupakan salah  satu pemasok minyak atsiri dunia, tetapi kenyataannya ada sejumlah minyak atsiri yang juga diimpor. Padahal minyak atsiri yang diimpor tersebut dapat diproduksi oleh Indonesia sebagai contoh, bergamot, orange, lemon, lime, citrus, geranium, jasmine, lavender, peppermint, cornmint, dan vetiver.
Kulit buah jeruk (Citrus aurantium) dan buah lemon (Citrus medica limonum) yang berupa hasil samping buah jeruk sunkist dan lemon biasanya dibuang setelah diambil daging buangnya. Secara fisik kulit buah jeruk sunkist dan buah lemon banyak mengandung minyak dan dapat dimanfaatkan untuk diambil minyaknya.
Komponen penyusun minyak kulit jeruk adalah limonen, sitral, dan terpen dalam jumlah yang bervariasi. Menurut sarwono (1991) kandungan minyak atsiri terdiri dari 90 % limonen, 5 % campuran citral, sitronelal, metil ester dan asam aurantinilat, dan aldehid tidak kurang dari 1%. ( Nainggolan, 2002).
Terkait kandungan, kelimpahan dan pemanfaatan dari kulit jeruk manis dan jeruk lemon, perlu adanya alternatif pemanfaatan yang lebih maksimal sehingga meningkatkan nilai ekonomis dari limbah kulit jeruk. Dimana kulit jeruk dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kulit kering dan noda hitam. Terkait hal ini dapat dilihat bahwa banyak sekali penggunaan bahan sintetis berbahaya yang dikonsumsi masyarakat terutama wanita-wanita dari usia muda hingga manula untuk mengatasi jenis kulit kering dan bercak atau noda hitam. sehingga dalam makalah ini mencoba untuk membuat masker dari campuran minyak kulit jeruk manis
Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Cina dipercaya sebagai tempat pertama kali jeruk tumbuh. Sejak ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau dibudidayakan. Tanaman jeruk yang ada di Indonesia adalah peninggalan orang Belanda yang mendatangkan jeruk manis dan keprok dari Amerika dan Itali. ( BAPPENAS,2000)
Klasifikasi botani tanaman jeruk manis adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Keluarga : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : C. auranticum L
Klasifikasi botani tanaman jeruk lemon adalah sebagai berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Rutales
Keluarga : Rutaceae
Genus : Citrus
Spesies : C. medica
 Jenis jeruk lokal yang dibudidayakan di Indonesia adalah jeruk Keprok (Citrus reticulata/nobilis L.), jeruk Siem (C. microcarpa L. dan C.sinensis. L) yang terdiri atas Siem Pontianak, Siem Garut, Siem Lumajang, jeruk manis (C. auranticum L. dan C.sinensis L.), jeruk sitrun/lemon (C. medica), jeruk besar (C.maxima Herr.) yang terdiri atas jeruk Nambangan-Madium dan Bali. Jeruk untuk bumbu masakan yang terdiri atas jeruk nipis (C. aurantifolia), jeruk Purut (C. hystrix) dan jeruk sambal (C. hystix ABC).( BAPPENAS,2000)
Sentra jeruk di Indonesia tersebar meliputi: Garut (Jawa Barat), Tawangmangu (Jawa Tengah), Batu (Jawa Timur), Tejakula (Bali), Selayar (Sulawesi Selatan), Pontianak (Kalimantan Barat) dan Medan (Sumatera Utara). Karena adanya serangan virus CVPD (Citrus Vein Phloen Degeneration), beberapa sentra penanaman mengalami penurunan produksi yang diperparah lagi oleh sistem monopoli tata niaga jeruk yang saat ini tidak berlaku lagi. ( BAPPENAS,2000).
Jeruk manis atau jeruk peras ( Citrus sinesis (L) Obbeck) memiliki kulit buah yang berbau khas aromatik dan rasa pahit, yang mengandung minyak atsiri 90%. Kulit jeruk manis permukaan luar berwarna coklat agak kekuning-kuningan sampai coklat jingga, tebal + 3 mm, keras dan rapuh. Sedangkan permukaan dalam rata, berwarna coklat jingga dan jaringan bunga karang yang rongga minyak berdiameter sekitar 1 mm. Dalam percobaan ini, pengambilan minyak atsiri dengan metode pengepresan tanpa Perendaman untuk mengurangi volume minyak atsiri yang keluar. Pelarut yang digunakan adalah air es. Emulsi minyak atsiri kulit jeruk manis hasil pengepresan kemudian dipisah dengan corong pisah dekantasi, dan motor sentrifus. Pemisahan ter-akhir dengan Na2SO4 anhidrat untuk mengikat air yang tidak dapat dipisahkan dengan dekantasi dan sentrifugasi. Pengujian ekstraksi minyak atsiri di campur dengan minyak goreng, kemudian dimasukkan dalam tabung spirtus yang ada sumbunya, selanjutnya baru disulut dengan api. (Resti Switaning E.S. dkk, 2010).
 Jeruk lemon merupakan bahan alam yang potensial untuk dijadikan bahan kosmetik karena mempunyai khasiat sebagai antioksidan, mence-gah penuaan dini, antijerawat, dan untuk men-cerahkan wajah. Kandungan kimia dari jeruk lemon yaitu pektin, minyak atsiri (70% limonene), felan-dren, koumarins, bioflavanoid, geranil asetat, asam sitrat, linalil asetat, vitamin A, B1, B2, C, kalsium, fosfor, besi dan serat . Konsentrasi Jeruk lemon (Citrus lemon L.) yang digunakan untuk mencerahkan wajah yaitu 10% (2).(Fajari, 2010)
            Minyak atsiri merupakan zat yang memberikan aroma pada tumbuhan. Minyak atsiri memiliki komponen volatil pada beberapa tumbuhan dengan karakteristik tertentu. Saat ini, minyak atsiri telah digunakan sebagai parfum, kosmetik, bahan tambahan makanan dan obat (Buchbauer, 1991).
            Teknik yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri adalah dengan penyulingan, pengepresan, ekstraksi pelarut, enfleurasi, dan maserasi (Guenther 1987).Monoterpen merupakan komponen terbesar penyusun minyak atsiri. Diantara monoterpen tersebut komponen yang relatif besar meliputi: geranial, limonen, neral, nerol, geraniola, geranial asetat (Jantan 1996). Komposisi minyak atsiri jeruk dipengaruhi oleh metode isolasi yang digunakan untuk memperoleh minyak atsiri tersebut. Metode pengepresan, metode destilasi uap, metode ekstraksi dengan LARD dan Tellow menghasilkan minyak atsiri dengan komposisi yang berbeda (Guenther 1987).
Kandungan kimia dari jeruk lemon yaitu pektin, minyak atsiri (70% limonene), felan-dren, koumarins, bioflavanoid, geranil asetat, asam sitrat, linalil asetat, vitamin A, B1, B2, C, kalsium, fosfor, besi dan serat. Konsentrasi Jeruk lemon (Citrus lemon L.) yang digunakan untuk mencerahkan wajah yaitu 10%.(Fajari, 2010).
Dijelaskan juga bahwa jeruk lemon (Citrus Medica Limonum) bermaanfaat untuk membersihkan, antibakterial, antiseptik, tonik, healing, Astringent (cairan yang dapat menutup pori-pori kulit) dan pada kulit wajah , minyak atsiri kulit jeruk lemon banyak dimanfaatkan untuk jerawat, kulit berminyak dan suncare (NJ 07424). Elizabeth Walling  juga menyebutkan bahwa minyak atsiri lemon dapat digunakan untuk kulit berminyak dan  mengurangi atau menyamarkan spot hitam pada wajah.
Kulit jeruk manis mengandung atsiri yang terdiri dari berbagai komponen seperti limonen terpen, sesquiterpen, aldehida, ester dan sterol. Minyak kulit jeruk manis dapat digunakan sebagaif lavor terhadap produk minuman, kosmetika, dan sanitari (Rohman, 2009).
Minyak atsiri kulit jeruk manis ( Citrus Aurantium Dulcis) yang biasa disebut jeruk sunkist diketahui memiliki banyak khasiat yang tidak kalah pentingnya dengan minyak atsiri kulit jeruk lemon. Dimana minyak kulit jeruk ini digunakan untuk memberikan efek menenangkan, tonik, toner, dan  melembabkan selain itu manfaat utamanya untuk kulit yaitu sebagai pembersih dan untuk kulit kering (NJ 07424). Elizabeth Walling  juga menyebutkan bahwa minyak atsiri kulit jeruk manis ini dapat digunakan untuk kulit berminyak serta juga dapat digunakan memelihara kulit baik kulit kering atau kulit berminyak.
            Beberapa Minyak atsiri banyak sekali yang di Blend yang terdiri dari 2 jenis atsiri ataupun lebih. Tetapi beberapa minyak atsiri tidak dapat dilakukan Blend terhadap minyak atsiri lain karena dapat menimbulkan toksik. Pada makalah ini dilakukan pencampuran antara minyak atsiri kulit jeruk manis dan minyak atsiri kulit jeruk lemon. Pada suatu artikel aromatherapy (Anonim 2) essensial oil disebutkan bahwa minyak atsiri lemon dan jeruk manis dapat di campurkan, dimana pencampuran ini diharapkan dapat mendapatkan manfaat lebih maksimal terhadap kulit khususnya untuk kulit wajah terdapat spot gelap dan mengurangi kulit berminyak dan kulit kering dengan menggunakan cara-cara yang sederhana dan alamiah.
            Pencampuran pertama dilakukan dengan menggunakan penambahan gelatin dimana pada penelitian yang dilakukan oleh Hani 2009 menyebutkan bahwa Bila didinginkan, molekul-molekul yang kompak dan tergulung dalam bentuk sol pada gelatin mengurai dan terjadi ikatan-ikatan silang antara molekul-molekul yang berdekatan sehingga terbentuk suatu jaringan. Sol akan berubah menjadi gel. Dan gelatin disini banyak diguanakan untuk kecantikan seperti pada penggunaan masker wajah. Pembentukan fase gel apada gelatin agar dapat digosokkan pada permukaan wajah dengan lebih mudah.
Pencampuran kedua yaitu dilakukan dengan cara mencampurkan kedua minyak atsiri jeruk dengan minyak pembawa, kemudian langsung dioleskan pada wajah. Hal ini dapat dilakukan jika menginginken pemakaian minyak atsiri secara langsung tanpa harus mempersiapkan bahan lainnya. Sehingga metode ini cenderung lebuih peraktis.
            Pencampuran ketiga yaitu menggukan putih telur dimana seperti yang telah diketahui bahwa putih telur dapat mengering dan tidak pecah pada saat mngenai permukaan kulit.  Dengan pencampuran minyak atsiri dengan putih telur diharapkan selain memberikan khasiat penting minyak atsiri terhadap kulit, putih telur dapat memberikan efek pengencang pada kulit karena sifatnya yang kering dan tidak pecah saat mengenai kulit sehingga mendominasi dalam penghambatan kulit keriput.
Masker adalah kosmetik yang dipergunakan pada tingkat terakhir dalam perawatan kulit wajah tidak bermasalah. Penggunaannya dilakukan setelah massage, dioleskan pada seluruh wajah kecuali alis, mata dan bibir sehingga akan tampak memakai topeng wajah. Masker juga termasuk kosmetik yang berkerja secara mendalam (deepth cleansing) karena dapat mengangkat sel-sel tanduk yang sudah mati. Kegunaan masker adalah sebagai berikut:
  1. Meningkatkan taraf kebersihan, kesehatan, dan kecantikan kulit, memperbaiki dan merangsang kembali kegiatan-kegiatan sel kulit.
  2.  Melenyapkan kesuraman kulit, mengeluarkan sisa-sisa kotoran dan sel-sel tanduk yang masih melekat pada kulit.
  3. Memperbaiki dan mengencangkan tonus (daya bingkas) kulit.
  4. Memupuk kulit, memberi makanan kulit, menghaluskan dan melembutkan kulit.
  5. Mencegah, menyamarkan, mengurangi keriput-keriput dan hyperpigmentasi.
  6. Melancarkan peredaran darah kulit. g) Melancarkan peredaran cairan limfe (getah bening) dalam membawa sisasisa zat pembakar untuk disalurkan ke organ organ ekskresi.
            Pada pembuatan masker wajah dari pencampuran minyak atsiri dari kulit jeruk lemon dan kulit jeruk manis dapat dilakukan menggunakkan tiga cara yaitu  menggunakan pencampuran dengan gelatin yang dapat memberikan efek gel pada sifat fisik dari masker. Cara kedua yaitu menggunakan pencampuran dengan minyak pembawa sedangkan cara ketiga yaitu menggunakan pencampuran dengan putih telur yang memberikan efek tarikan pada wajah yang bermanfaat mengurangi terjadinya keriput.
            Kandungan minyak atsiri lemon dan jeruk manis memberikan khasiat penting bagi wajah yaitu seperti mengatasi kulit berminyak dan kulit kering, mengurangi noda gelap pada wajah dengan cara alami.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Rohman dan Bahtiar, Alfin, 2009, Hasil Riset Ekstraksi Minyak Atsiri Dari Kulit Jeruk, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “..
Anonim 2, Your Souce for Aromatherapy and Essensial Oil Information, http://www.aromaweb.com/, diakses tanggal 15 april 2015.
BAPPENAS, 2000, Tentang Budidaya Tanaman, Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, jakarta.
Buchbauer, G., Jager, W., Jirovetz, L., Ilmberger, J., and Dietrich, H.1993. Therapeutic Properties of Essential Oil and fragrances. American Chemical Society (ACS) Simposium Series; 525, 160-165.
DeMan JM. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan. K. Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung.
Fajari, Nurul, dkk, 2010, Ekstraksi Minyak Atsiri Dari Limbah Kulit Jeruk Manis Di Desa Gadingkulon Kecamatan Dau Kabupaten Malangsebagai Campuran Minyak Goreng Untuk Penambah Aroma Jeruk, Universitas Negeri Malang, Malang.
Glicksman M. 1969, Gum Technology in Food Industry, Academic Press, New York.
Guenther, T. 1987. Minyak atsiri. Terjemahan oleh Ketaren, S. 1990. Jakarta: UI
Hani Setiawan, Ima, 2009, Karakterisasi Mutu Fisika Kimia Gelatin Kulit Ikan Kakap Merah (Lutjanus Sp.) Hasil Proses Perlakuan Asam, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Jantan, I., Hindchen, J.D., Strobel, H.A. 1996. Chemical composition of some citrus oils from Malasya.The Journal of Essential Oil Research 8(6): 627-631.
Nainggolan, B, 2002, Sintesis Derivat Limonen Kandungan Minyak Kulit Buah Jeruk Sunkist, Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Medan, Jurnal Pendidikan Science, Vol 26 , ISSN:0853-3792.
NJ 07424, Benefits of Botanical Blends, 163 East Main Street.

Resti, Switaning E.S. dkk, 2010. Ekstraksi Minyak Atsiri Dari Limbah Kulit Jeruk Manis Di Desa Gadingkulon Kecamatan Dau Kabupaten Malang Sebagai Campuran Minyak Goreng Untuk Penambah Aroma Terapi Jeruk, Universitas Negeri Malang.
Walling, Elizabeth, 2014, The Best Essential Oils for Skin, www.livingthenourishedlife.com , diakses tanggal 15 April 2015.

APLIKASI POLYTHIOPHENE


By : Baiq Octaviana Dwi A.
Synthesis of Polythiophene Thin Films by Simple Successive Ionic Layer Adsorption and Reaction (SILAR) Method for Supercapasitor Application
B.H Patil, A.D. Jagadele, C.D. Lokhande., 2012, Synthetic Metal, 162: 1400-1405
A. Pendahuluan
Penelitian berkaitan dengan kapasitor elektrokimia yang disebut juga dengan superkapasitor atau ultrakapasitor terus berkembang pesat karena potensinya sebagai alat penyimpan energy (power storage devices). Berdasarkan mekanisme penyimpanan muatan, superkapasitor diklasifikasikan menjadi dua yaitu electrical double layer capacitor (EDLC) dan redox supercapacitor. Material yang termasuk jenis redox supercapacitor adalah oksida logam dan polimer konduktor. Berdasarkan penelitian berkaitan dengan polimer konduktor, polythiophene banyak digunakan sebagai bahan dasar pembuatan thin film karena stabilitas yang baik pada lingkungan dan merupakan polimer konduktor organik yang baik.
B. Metode
     Sintesis polythiphene sebagai thin film dilakukan dengan cara polimerisasi oksidatif oleh polythiophene thin film pada substrat stainless steel dan glass dilakukan dengan menggunakan metode SILAR pada temperatur ruang (300 K). Thiophene sebanyak 0.3 M dilarutkan dengan asetonitril (pH 1) dan diletakkan dalam beaker I sebagai kationik prekusor. Pada beaker II diletakkan FeCl3 0.05 M yang telah dilarutkan dengan air suling sebagai anionik prekusor.  Substrat dicelupkan pada beaker I selama 20 detik kemudian dicelupkan kembali pada beaker II selama 10 detik. Dilakukan pengulangan hingga mencapai ketebalan yang diinginkan untuk terbentuknya polythiophene thin film (Gambar 1). Karakterisasi dilakukan dengan menggunakan X-ray diffraction (XRD), Fourier transform infrared (FTIR), Spectroscopy and scanning electron microscopy (SEM). Pengukuran resistivitas elektrik dan performa superkapasitor dari polythiphene thin film dilakukan dengan menggunakan teknik cyclic voltammetry (CV) dan calvanostatic charge-discharge.


Gambar 1. Skema metode SILAR
C. Hasil dan Pembahasan
1.      Pembentukan polythiophene thin film
Reaksi polimerisasi dari senyawa tiophene membentuk polythiophene berlangsung melalui beberapa tahap. Tahap pertama, ketika substrat dicelupkan kedalam larutan thiophene terjadi adsorbsi antara monomer thiophene dengan substrat. Monomer tersebut bereaksi dengan FeCl3 yang bertindak sebagai agen pengoksidasi untuk membentuk radikal kationik. Penggabungan dua senyawa radikal akan membentuk senyawa dikation dihidrodimerik, melalui deprotonasi senyawa tersebut akan menghasilkan dimer dari senyawa thiophene. Thiophene dalam bentuk dimernya lebih mudah dioksidasi daripada dalam bentuk monomernya, membentuk radikal kationik oleh adanya Fe3+ melalui reaksi penggabungan antar monomer atau kationik radikal oligomerik. Mekanisme reaksi polimerisasi thiophene sebagai berikut :


1.      Pendekatan Stuktural
Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan XRD terindikasi adanya reaksi intermolecular π-π yang menyebabkan terjadinya penumpukan puncak dan struktur yang tidak beraturan dengan munculnya puncak substrat stainless steel (Gambar 2). 

Gambar 2. Spektrum XRD polythiophene thin film
1.      Karakterisasi FTIR dan SEM
Karakterisasi menggunakan FTIR terindikasi munculnya puncak OH-stretch dan CH alifatik di daerah 3399.46 cm-1 dan 2930.07 cm-1 serta ikatan C-S dengan cincin C-S-C pada daerah 490 cm-1 (Gambar 3a). Struktur morfologi dari polythiophene thin film (Gambar 3b) menunjukkan adanya keseragaman permukaan antara interkoneksi dari butiran nano polythiophene dengan distribusi substrat. 




Gambar 3 (a) Spektra FTIR polythiophene thin film. (b) Struktur morfologi polythiophene thin film berdasarkan SEM.
1.      Pendekatan Optik
Variasi absorbansi optis (αt) dengan panjang gelombang foton (λ) dari polythiophene thin film (Gambar 4) menunjukkan ketebalan elektroda tersebut sebesar 0.48  µm. Puncak absorpsi pada daerah panjang gelombang 346 nm dipengaruhi oleh transisi π-π* dari struktur cincin thiophene. Band gap, Eg, sebesar 2.90 eV dihitung dengan membuat garis linier pada kurva pada saat absorpsi bernilai (α= 0).


Gambar 4.  Variasi absorbansi optis (αt) dengan panjang gelombang foton (λ) dari polythiophene thin film pada substrat glass

1.      Pengukuran resistivitas elektrik
Resistivitas elektrik yang dihasilkan dari polythiphene thin film yaitu 484 Ω-cm dengan koefisien suhu hambatan listrik yang bernilai negatif menunjukkan kemampuan senyawa tersebut baik untuk menghantarkan arus listrik (Gambar 5). 

Gambar 5. Variasi resistivitas elektrik (log ρ) dengan temperature (1000/T) dari polythiophene thin film.
1.      Pengukuran siklus stabilitas
Pengukuran siklus stabilitas dari polythiophene thin film yang dilakukan dengan menggunakan teknik cyclic voltammetry pada laju scan 50 mVs-1 untuk masing-masing siklus yaitu 3, 500, dan 1000 menunjukkan kapasitansi spesifik berkurang dengan semakin kecilnya jumlah siklus (Gambar 5). Stabilitas siklus polythiophene thin film yang dihasilkan sebesar 85%  menunjukkan bahwa senyawa tersebut memiliki performa kestabilan yang baik dalam aplikasinya sebagai superkapasitor.


Gambar 6. Cyclic Voltamogram elektroda polythiophene pada putaran 3rd, 500th, 1000th dengan laju 50 mVs-1
D. Kesimpulan
Sintesis polythiophene thin film pada proses polimerisasi menggunakan metode SILAR memberikan hasil yang baik dengan penggunaan substrat glass daripada substrat stainless steel. Karakterisasi sifat fisika-kimia dengan XRD, FTIR, SEM, teknik optik dan elektrik memberikan hasil optikal band gap 2.90 eV dan p-type resistivitas yang rendah dari polythiophene thin film. Pengukuran secara elektrokimia menunjukkan kemampuan superkapasitif polythiophene thin film dengan kapasitansi spesifik sebesar 252 Fg-1.